JAKARTA, Harianmuria.com – Anggota DPR RI Komisi IX Edy Wuryanto mengapresiasi program Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS, yang akan diimplementasikan mulai Juni 2025, akan berdampak positif dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, masih ada sejumlah masalah yang harus segera diatasi agar program tersebut berjalan lancar.
Menurut Edy, program KRIS BPJS adalah wujud nyata pemerintah dalam memperbaiki pelayanan sistem BPJS Kesehatan kelas III yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Dengan adanya KRIS, masyarakat akan merasakan pelayanan kesehatan yang sama rata, sehingga tidak lagi dibedakan antara kelas I, II, dan III.
“Sisi positifnya, untuk memberikan jaminan layanan kesehatan untuk kelas III BPJS Kesehatan menjadi terstandar,” kata anggota DPR RI dari Dapil III Jawa Tengah itu, saat ditemui di Kompleks Parlemen di Senayan, Jakarta, Selasa (12/2/2025).
Sebelumnya, banyak yang mengira jika KRIS akan menggantikan seluruh sistem BPJS Kesehatan kelas I, II dan III. Namun, Edy menegaskan KRIS adalah pengganti untuk BPJS Kesehatan Kelas III dari segi pelayanan kesehatan. “Karena untuk kelas I, II kan sudah bagus,” ujarnya.
Setelah adanya KRIS, nantinya iuran BPJS Kesehatan akan disamaratakan sehingga tidak ada kelas I, II atau III. Hal tersebut dikhawatirkan Edy akan menimbulkan masalah ke depannya.
“Semua peserta BPJS itu nanti bayarannya kelas III, baik itu yang miskin maupun yang kaya. Semua sama rata, dan ini yang jadi masalah,” tuturnya.
Selain masalah iuran, program KRIS ini masih menghadapi sejumlah persoalan, seperti rumah sakit yang belum siap untuk menyediakan kamar inap terstandar. Apalagi, sisa waktu hanya tinggal empat bulan lagi sebelum program KRIS benar-benar diimplementasikan.
“Karena rawat inap standar itu harus segera dilakukan, lebih dari 40 persen rumah sakit yang belum siap. Dan jumlah tiap rumah sakit itu persentasenya 40-60 persen berarti coverage rumah sakitnya jadi turun dong. Ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip JKN, yang mana seluruh penduduk harus mendapatkan akses layanan kesehatan,” papar Edy.
Jika dalam rentang waktu tersisa belum menyiapkan kamar rawat inap standar, lanjut Edy, maka pihak rumah sakit akan berpotensi menerima konsekuensi. “Kalau mereka tidak menyiapkan itu, mungkin kerja sama BPJS-nya akan diputus,” ucapnya.
Selain itu, masalah berikutnya adalah pihak rumah sakit swasta yang harus memakai anggaran pribadi untuk menyiapkan KRIS. Hal ini berbeda dengan rumah sakit swasta yang menggunakan anggaran APBN. “Ini jadi keluhan banyak rumah sakit, terutama rumah sakit swasta,” sebutnya.
Dari serangkaian masalah yang masih ada terkait KRIS, Edy mengungkapkan hal itu masih menjadi pembahasan antara Komisi IX, Pemerintah, Kementerian Kesehatan, dan BPJS Kesehatan.
“Sejauh tidak menurunkan akses layanan kesehatan, oke (setuju). Karena di negara ini, terutama orang miskin rentan sekali. Selama ini, banyak orang antre masuk rumah sakit, tempat tidur penuh, atau operasi tertunda lama. Dan inilah yang sedang kita perbaiki,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mmenjelaskan, KRIS adalah upaya untuk meningkatkan standar layanan kesehatan, agar pasien lebih nyaman saat dirawat. Hal itu juga untuk menghindari risiko re-infeksi karena rumah sakit mengandung banyak patogen, bakteri, dan virus.
Budi juga meminta agar semua rumah sakit di Indonesia, baik itu RS swasta maupuan RS pemerintah untuk mengimplemetasikan KRIS. Kriteria fasilitas ruang perawatan berdasarkan standar KRIS sendiri sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024. Perpres itu merupakan perubahan ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
“Kita harapkan semua rumah sakit sudah melaksanakan implementasi KRIS. Jadi tujuan utamanya bukan dari sisi kelas, tapi layanan kesehatannya minimal sama dan standarnya dipenuhi,” kata Budi.
(YUYUN HU – Harianmuria.com)