Harianmuria.com – Reaksi dan tindakan langsung manusia pada dasarnya dikendalikan oleh otaknya. Kerja otak itu sendiri dibentuk oleh pembiasaan. Pembiasaan inilah yang nantinya akan membentuk khulq, wadah halus atau kepribadian, yang manifestasinya adalah akhlak. Maka istiqomah dalam kebaikan otomatis akan melahirkan pribadi mulia. Demikian pula sebaliknya.
Demikian ungkap Anis Sholeh Ba’asyin dalam pembukaan Ngaji Suluk Maleman edisi ke142, yang mengambil tema “Meniti Batas” di Rumah Adab Indonesia Mulia pada Sabtu, (21/10/2023) kemarin. Baginya, kehidupan manusia proses meniti shirothol mustaqim.
“Dalam kehidupan, manusia harus bisa meniti batas. Batas yang membentang antara samudra keabadian dan samudra kefanaan, antara yang ruhani dengan yang jasmani, antara individu dengan masyarakat, antara masa lampau dan masa depan, antara yang lokal dan yang universal, dan seterusnya. Garis batas itulah yang disebut sebagai shirothol mustaqim,” terangnya
Agar dapat berjalan secara tepat, salah satu landasan pentingnya menurut Anis adalah sudah terinstallnya kebiasaan baik di memori otaknya; karena dari sinilah salah satu pengendalinya. Hanya saja, karena tak dibekali latihan pembiasaan dengan baik dan istiqomah, nalar otak dan reaksi kita sering terlihat acak, tidak konsisten. Apalagi di zaman sekarang, dimana persoalan duniawi lebih dominan mengendalikan rata-rata nalar otak manusia.
“Memang, tanpa latihan pembiasaan kebaikan secara istiqomah, nalar otak kita akan gampang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sesaat. Seperti dalam momen politik misalnya. Zaman dulu untuk kampanye harus mendatangkan banyak massa. Karena jika di tengah banyak orang, seringkali merasa di jalur yang tepat,” ujarnya.
Rupanya model kampanye sekarang mulai berganti. Yakni dengan narasi dan pencitraan. Bahkan tak jarang hingga cara berpakaian harus ditata sedemikian rupa untuk dapat menarik massa. Sehingga persoalan kampanye tak lagi dicetak oleh gagasan.
“Justru calon-calonlah yang dicetak. Bukan rasionalitas lagi yang berjalan. Tapi mencoba mengarahkan naluri otak masyarakat,” satirenya.
Keberadaan survei pun terkadang menyampingkan obyektivitas, dan hanya dipakai untuk menciptakan dampak yang mungkin dicapainya dalam mempengaruhi pilihan masyarakat. Karena cara kerja otak secara umum selalu cenderung memilih untuk menempel pada kawanan terbanyak dan menghindar dari kawanan yang sedikit; maka unsur kemenangan dalam survei, apalagi dengan suara yang signifikan menjadi sangat penting.
Sambil mengutip sebuah hadits, Anis lantas menyebut bahwa pembiasaan dalam kebaikan harus mulai dilakukan sejak dini, sehingga di usia tujuh tahun dasar-dasarnya sudah terbentuk.
“Pembiasaan itulah yang akan tersimpan di memori di otak, dan akan melahirkan reaksi tindakan baik dalam beragam kondisi yang akan ditemuinya. Misalkan saja, anak yang terbiasa membuang sampah pada tempatnya, kebiasaan ini nantinya tidak hanya membentuk kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, tapi akan membentuk kebiasaan bereaksi pada apa pun secara tepat dan pada tempatnya,” terangnya.
Begitu pula jika terbiasa melanggar aturan, tentu juga akan melakukan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Syariat Islam, setidaknya salah satu fungsinya, memang dirancang sebagai sarana untuk pelatihan dan pembiasaan agar landasan hidup manusia bisa dibangun.
“Seperti dilatih berhenti makan sebelum kenyang, menggunakan air secukupnya, shalat tepat waktu. Sebenarnya semua syariat jika dilakukan untuk melahirkan pribadi yang mulia. Kita akan menghindari berbohong, tidak berfikir merebut hak orang lain. Kita tahu batas-batasnya sehingga tidak akan menabraknya,” tambahnya.
Menurut Anis, ini semua yang seharusnya sejak dini dilatihkan. Bukan sekadar hafalan atau pengetahuan. Kanjeng Nabi pun sudah memiliki sifat shidiq dan amanah sejak sebelum menjadi Nabi.
“Belajar agama tentu tak sebatas sebagai pengetahuan saja, namun juga mempraktekannya dalam perbuatan. Jangan sampai ilmu hanya di ingatan saja, yang muncul sekadar sebagai wacana, namun tak tampak dalam perbuatan,” tambahnya.
Pesantren sendiri, demikian tambah Anis, meski ada level pengetahuan didalamnya, namun yang utama justru membentuk pribadi-pribadi mulia. Demikian juga para pahlawan kemerdekaan. Mereka tak menjadikan kekuasaan dan kekayaan sebagai dasarnya perjuangan, namun sebagai pengabdian kemanusiaan.
Dr. Abdul Jalil, salah narasumber yang hadir malam itu menyebutkan jika melihat tema tentang meniti batas, maka yang penting dipahami adalah bagaimana mengukur batas tersebut. Seperti halnya batas kesabaran.
“Padahal disebutkan. Kalau diperangi maka lawanlah. Namun jangan sampai melampaui batas. Lalu batas itu yang membuat siapa?” tanyanya.
Maka menurutnya etika dan sopan santun bisa menjadi salah satu batasan untuk melakukan tindakan tertentu.
Diskusi tersebut tampaknya memaksa ratusan penyaksi yang datang secara langsung maupun lewat berbagai kanal media, untuk kembali berfikir ulang tentang banyak hal yang selama ini dijalaninya. Kehadiran musik dari Sampak GusUran, tampaknya membantu menyegarkan jalannya Ngaji NgAllah Suluk Maleman tersebut. (Lingkar Network | Harianmuria.com)