PATI, Harianmuria.com – Ada beberapa pengertian surga yang dicoba bahas dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke 131 yang digelar Sabtu (19/11). Pertama, surga sebagaimana dialami oleh bapak moyang manusia, yaitu Nabi Adam. Yang kedua, surga sebagai kondisi yang pasti dialami oleh semua manusia dalam pertumbuhannya. Ketiga, surga sebagai kondisi yang terus terikut dalam kehidupan manusia.
Anis Sholeh Ba’asyin yang malam itu tampil sendirian, karena beberapa narasumber yang dijadwalkan berhalangan hadir, menjelaskan bahwa sejak awal lokasi atau tempat keberadaan Adam memang di bumi, karena ia ditugaskan sebagai khalifah di tempat tersebut. Dalam kaitan ini, artinya surga tidak merujuk ke tempat tapi lebih ke situasi. Dalam hal ini situasi serba terlayani semua kebutuhannya.
“Meski terbuka kemungkinan tafsir lain, namun ini adalah salah satu tafsir yang paling dekat dengan pemahaman kita saat ini,” lanjut Anis.
“Kalau kita pakai pemahaman ini, artinya surga adalah tersedianya semua fasilitas dan terpenuhinya semua kebutuhan manusia. Nah, kalau kita pakai pemahaman ini, artinya dikeluarkannya atau diturunkannya Adam dari surga tidak otomatis berarti dicabutnya keseluruhan fasilitas dan pemenuhan kebutuhannya,” jelas Anis.
Anis lantas memberi contoh tentang banyaknya otot tak sadar yang otomatis bekerja tanpa harus ada perintah dari manusia. Dia juga menyebut banyaknya ayat Al Qur’an tentang banyaknya fasilitas yang tetap ada bersama Adam setelah ia keluar dari surga. Artinya sebagian besar situasi surga tetap melekat pada Adam saat ia keluar dari surga.
Anis lantas menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap manusia akan mengalami proses sebagaimana yang dialami Adam. Ketika bayi, balita sampai setidaknya sebelum akil baligh, adalah surga yang dialami semua manusia. Semua kebutuhannya ada yang menyediakan, sementara ia belum dianggap bertanggung-jawab terhadap tindakannya.
“Jadi, dalam batas tertentu kita bisa mengatakan bahwa saat akil baligh adalah momen setiap manusia mengulang proses keluarnya Adam dari surga. Dalam pemahaman ini, keluar dari surga adalah sesuatu yang alamiah dan harus dilalui agar setiap manusia mampu mengemban tugas sebagai khalifah. Bukan hukuman atau malah siksa,” tegas Anis.
“Persoalan kita selanjutnya adalah, bagaimana mengelola sebagian besar fasilitas surga yang tetap melekat pada kita untuk meraih sebaik-baik kehidupan di dunia, dan bisa mengantar kita ke surga yang lebih abadi, dimana kita kembali bukan hanya ke surga tapi ke pemilik surga, yakni Allah itu sendiri.”
“Dalam hal ini, kita bukan saja harus dengan sadar mengelola jasad yang merupakan surga yang dititipkan ke kita dengan menjaga pola hidup; tapi juga menjaga fasilitas-fasilitas ruhani berupa ruh, hati, akal dan nafsu agar selaras dengan tujuan keberadaan kita,”
Anis kemudian menerangkan bagaimana kita sebenarnya sering menelantarkan surga yang tetap melekat ini demi tujuan-tujuan jangka pendek yang tidak jelas, bahkan kadang tanpa tujuan kecuali demi kesenangan sesaat.
“Apalagi kita di Indonesia, surga itu tampaknya bukan hanya melekat pada masing-masing diri kita; tapi juga masih melekat pada kondisi alam yang ada di sekitar kita. Menelantarkan saja sudah bisa dianggap dosa, apalagi merusaknya,” lanjut Anis.
“Kalau surga ini lantas jadi neraka, maka jelas itu salah kita semuya, karena tak pernah serius mengelolanya dan hanya tahu mengambil keuntungan sesaat darinya,” pungkas Anis.
Diskusi malam itu berlangsung intensif, dengan jeda penampilan Sampak GusUran di tengah tiap sesi tanya jawab. (Lingkar Network | Harianmuria.com)