Harianmuria.com – PERANGKAT Pengurus Rukun Tetangga (RT) di Kota Semarang tampaknya bisa sedikit merasakan kebahagiaan. Pasalnya, salah satu dari janji politik pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng-Iswar Aminuddin terkait penerimaan dana operasional RT sebesar Rp25 juta per tahun akan mulai dicairkan pada Juli 2025.
Namun demikian, pencairan dana yang akan dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan tersebut perlu diwaspadai bersama. Bukan hanya regulasi terkait penggunaan dana tersebut, perangkat pengurus RT juga perlu diberikan pemahaman hukum yang memadai.
Bagaimana tidak, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang perlu berkaca dari beragam kasus tindak pidana korupsi dalam penggunaan dana desa. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan jumlah kasus korupsi dana desa sejak 2015 hingga 2024 telah terjadi 851 kasus yang menjerat 973 pelaku dan 50 persen di antaranya merupakan oknum kepala desa.
Program dana desa yang berjalan sekitar 10 tahun sudah menghabiskan sekitar Rp610 triliun. Untuk tahun ini, anggaran dana desa sebesar Rp71 triliun dialokasikan untuk 75.259 desa.
Mengapa perlu berkaca dari penggunaan dana desa? Karena regulasi yang diterapkan dalam pengelolaan dana desa secara jelas payung hukumnya ada undang-undang, tetapi faktanya banyak oknum kepala desa masuk bui karenanya.
Lantas bagaimana dengan perangkat pengurus RT, yang secara kedudukan adalah perwakilan pemerintah dari unsur terkecil? Payung hukum yang sudah terbit hanya Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 1 Tahun 2025 dan diperkuat dengan Perwal Nomor 9 Tahun 2025 yang mengatur secara komprehensif tentang pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan (LKK) meliputi RT, RW, PKK, Karang Taruna, Posyandu, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK), atau mungkin ke depan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Kota Semarang yang mengatur untuk itu.
Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti pada 17 April 2025 di hadapan awak media mengatakan, skema pencairan dana operasional RT harus melalui pengajuan proposal terlebih dahulu, lalu perangkat RT harus mengajukan verifikasi SK baru.
Kemudian masing-masing RT harus membuka rekening bank untuk proses transfer dari kas daerah ke kas RT. Selanjutnya masing-masing RT juga harus membuat rencana kegiatan satu tahun penggunaan dana operasional tersebut.
Terkait kebijakan tersebut, apakah benar-benar sudah ada perangkat keamanan bagi perangkat RT? Penulis melihat kebijakan Pemkot Semarang tersebut antara berkah kebijakan atau justru bayang-bayang hukuman bagi perangkat RT.
Muncul pertanyaan, apakah aparat penegak hukum kita benar-benar pula melindungi dengan mengutamakan penyelesaian non-litigasi atau di luar persidangan, saat terjadinya salah penggunaan dana operasional RT untuk kepentingan warga masyarakat. Atau justru muncul penegakan hukum yang berpotensi banyak memenjarakan perangkat RT, layaknya dana desa.
Pemberian bantuan operasional sebesar Rp25 juta per tahun tersebut memang merupakan kebijakan yang progresif. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri, terutama terkait kemungkinan jeratan hukum yang dapat menimpa para perangkat pengurus RT jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan dana tersebut.
Oleh karena itu, urgensi penegakan sanksi administratif oleh Inspektorat Kota Semarang menjadi solusi paling logis dan manusiawi. Namun perlu pula dipahami, saat terjadinya kesalahan administrasi, kemudian perintah Inpektorat mengembalikan dana. Siapa yang menanggung pengembalian dana tersebut, apakah pribadi Ketua RT atau warga RT secara iuran?
Hal ini perlu dipikirkan bersama. Jangan sampai gara-gara RT salah menempatkan penggunaan dana operasional yang kepentingannya sama untuk warga masyarakat, tetapi jeruji besi justru diganjarkan. Apalagi tidak semua perangkat RT memiliki pemahaman hukum yang baik.
Maka sudah saatnya Pemkot Semarang perlu secara ekstra memberikan kebijakan minimal satu advokat untuk satu RT, sebagai bentuk pendampingan dan masukan hukum di tingkat RT. Sekaligus memaksimalkan aparat penegak hukum bekerja secara bijak, tidak memprioritaskan penegakan hukum pidana.
Jika mengacu prinsip proporsionalitas dalam penegakan hukum, maka pelanggaran administratif dalam penggunaan dana kecil seperti ini seharusnya tidak serta-merta ditangani oleh aparat penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian, atau bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebab, melibatkan lembaga penegakan hukum dalam perkara administratif ringan bukan hanya berpotensi menimbulkan ketakutan di kalangan perangkat pengurus RT, tetapi juga tidak sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan. Efek domino dari kriminalisasi administratif dapat berakibat menurunnya partisipasi warga dalam mengelola pemerintahan terkecil di masyarakat yang disebut RT.
Pemkot Semarang juga perlu berkaca dan belajar dari kasus kriminalisasi terhadap Ketua RT 02, RW 02, Kelurahan Karangayu, Kecamatan Semarang Barat, Ong Budiono. Tak tanggung-tanggung Penyidik Mabes Polri sampai rela menahan selama 10 hari, dan saat persidangan menjadi tahanan kota.
Bahkan jaksa penuntut umum Kejari Kota Semarang dan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah sampai rela menuntut pidana dengan pasal 368 maupun 369 KUHP tentang pemerasan dan pengancaman, dengan tuntutan selama lima tahun penjara dalam kasus yang terjadi pada Agustus 2012 hingga Februari 2013. Apalagi kasus itu cuma gara-gara menagih iuran RT bagi warga pendatang. Sekalipun diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Semarang hingga Mahkamah Agung RI.
Lantas apakah kita siap gara-gara kesalahan administrasi banyak perangkat RT dikriminalisasi, maka apakah kebijakan ini merupakan sebuah berkah atau justru baying-bayang hukuman?
Pengurus RT bukanlah pejabat negara, melainkan relawan sosial yang bekerja di akar rumput tanpa gaji tetap. Beban tanggung jawab yang mereka emban cukup besar, mulai dari urusan administrasi kependudukan hingga fasilitasi bantuan sosial.
Menempatkan mereka dalam posisi rentan terhadap jeratan pidana atas kesalahan prosedural pengelolaan dana sebesar Rp 25 juta per tahun adalah ketidakadilan struktural. Padahal, dalam banyak kasus, kesalahan yang terjadi seringkali bersifat administratif, seperti keterlambatan laporan atau kekurangpahaman terhadap format pertanggungjawaban.
Oleh sebab itu, pembinaan dan penegakan sanksi administratif oleh Inspektorat Kota Semarang dan apparat penegak hukum adalah langkah bijak yang harus diperkuat dalam regulasi lanjutan. Sehingga apabila ada kesalahan haruslah sanksi yang diberikan cukup dengan memberikan teguran, menjatuhkan sanksi berupa peringatan tertulis, hingga pemotongan bantuan di tahun berikutnya bagi RT yang terbukti lalai. Langkah ini tidak hanya menjaga akuntabilitas, tetapi juga membangun budaya pengawasan internal yang sehat dan mendidik.
Di sisi lain, pendekatan edukatif dan preventif juga penting. Pemkot Semarang bersama apparat penegak hukum harus rutin mengadakan bimbingan teknis, pelatihan manajemen keuangan, hukum serta menyediakan sistem pelaporan digital yang sederhana agar para perangkat pengurus RT dapat menjalankan tugas mereka dengan baik.
Dengan demikian, upaya pemberdayaan masyarakat tidak justru berubah menjadi jebakan hukum bagi mereka yang berniat tulus membangun lingkungannya.
(JOKO SUSANTO)
*Penulis adalah Ketua RT 014, RW 005, Dusun Rowosari, Desa Meteseh, sekaligus Mahasiswa Program Studi Doktor Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.