PATI, Harianmuria.com – Angka perceraian di Kabupaten Pati pengalami peningkatan hingga mencapai 1850 kasus gugatan cerai. Hakim Juru Bicara kantor Pengadilan Agama Kelas I Pati, Sutiyo mengatakan angka ini didominasi mereka yang berusia produktif antara 20-45 tahun.
Sutiyo menambahkan, persentasenya hampir 99% merupakan pasangan rumah tangga usia produktif. Sisanya, 1% merupakan pasangan berusia 45 tahun keatas dan hampir 0 kasus perceraian pada pasangan yang berusia dibawah 20 tahun.
“Usia pihak yang mengajukan perkara itu rata-rata usia produktif antara 20-45 tahunan. Yang dibawah 20 tahun paling hanya 0, sekian persen. Yang 45 tahunan keatas hanya 1% lah,” ucap Sutiyo.
Ia menyebut faktor emosional yang masih labil dan sulit dikendalikan merupakan penyebab utama pasangan keluarga melakukan perceraian. Seringkali, lanjut Sutiyo baik pihak suami maupun istri tidak mau ada yang mengalah dalam suatu persoalan karena menganggap masing-masing yang paling benar.
Selain itu, faktor ekonomi pun turut menjadi bagian dari persoalan ini. Sutiyo tak memungkiri jika pandemi Covid-19 membuat banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Ketidak stabilan kondisi ekonomi keluarga inilah yang membuat pondasi rumah tangga menjadi retak, dan akhirnya cerai.
“Mengapa seperti itu, berdasar pada data di persidangan itu rata-rata faktor pengendalian emosi yang masih belum stabil. Dalam rumah tangga kan biasanya pihak istri maupun suami kan beda. Kalau ini tidak bisa dikurangi dalam sebuah rumah tangga, akan potensial menjadi sumber persoalan. Larinya ya cerai. Kalau faktor lain sedikit lah, cuman yang pengendalian itu,” tambahnya.
Sementara dari data yang terhimpun, jika di ranking per kecamatan, warga dari Kecamatan Tayu, Pati Kota, Kayen, Sukolilo, Juwana, dan Dukuhseti adalah yang paling banyak mengajukan gugatan perceraian. Sedangkan Kecamatan Winong dan Gembong adalah yang paling sedikit. (Lingkar Network | Arif Febriyanto | Harianmuria.com)