PATI, Harianmuria.com – Pada momen bulan Agustus ini, majelis Ngaji NgAllah Suluk Maleman mengambil tema ‘Kemerdekaan dan Ketlingsut-nya Hak-hak Adami’ berupaya untuk mengurainya dengan pemaknaan dari sisi lain.
Acara yang digagas oleh Anis Sholeh Ba’asyin ini juga dihadiri oleh dosen Institut Agama Islam (IAIN) Kudus Abdul Jalil, Guru Besar Universitas Negeri Semarang (UNNES), Saratri Wilonoyudho dan dosen UNNES, Ilyas Arifin dan pada Sabtu (20/8)
Sosok yang kerap disapa dengan Habib Anis ini mengingatkan pentingnya memaknai kemerdekaan dalam hubungannya dengan hak-hak adami, atau hak sesama manusia.
Kemerdekaan yang dimaksud yakni setiap individu dalam melakukan sesuatu, diharapkan tidak menganggu apalagi mencederai hak-hak orang lain. Kemerdekaan dalam hal ini, harus berlandas tujuan untuk memuliakan manusia, bukan malah melakukan kehinaan dengan beragam cara.
“Salah satu hal yang justru perlu diperhatikan adalah: apakah kemerdekaan digunakan untuk mendzolimi orang lain atau tidak? Ini menjadi sangat penting, karena menurut Al Qur’an, pencederaan apalagi pendzoliman pada sesama manusia, adalah jenis dosa yang tak termaafkan bahkan oleh Allah sekali pun, tanpa yang bersangkutan secara sukarela memaafkan kita,” ungkapnya.
Konsep hak-hak sesama manusia atau dalam tradisi Islam dikenal sebagai hak-hak adami, ini pun harus dipahami secara berjenjang. Mulai dari level horizontal, baik personal maupun sosial. Atau level vertikal yang berkait dengan dimensi kuasa, antara yang memimpin dan yang dipimpin, antara negara dengan rakyat dan seterusnya.
“Nah, kalau secara horizontal dan personal, orang perorang saja pelanggaran dan pencederaan hak adami adalah persoalan yang dianggap serius oleh Allah. Tak terbayang tingkat keseriusannya bila ini terjadi secara vertikal, dengan melibatkan lembaga dan kuasa, yang jangkauan pelanggaran dan pencederaan otomatis bersifat masif, melibatkan hampir semua orang yang ada di dalam wilayah kuasanya,” tegas Habib Anis.
Selain itu, Habib Anis juga menjelaskan tentang beberapa contoh dari kemerdekaan yang diciderai.
“Perilaku korup misalnya, adalah salah satu contoh kecil bagaimana kemerdekaan dicederai. Kekayaan yang seharusnya menjadi hak bangsa, rakyat; disedot demi kerakusan segelintir orang dengan memanfaatkan kuasa yang dimilikinya. Jelas ini mengacaukan kehidupan sosial dan merusak substansi kemerdekaan itu sendiri; karena koupsi merampas kemungkinan sejahtera di kalangan bangsa, rakyat. Apalagi bila perilaku korup ini lantas jadi budaya, sungguh tak terbayang dampaknya. Setiap orang yang masuk dalam sistem mau tak tak mau seperti digiring dan dipaksa melakukannya kalau tak ingin diasingkan atau malah disingkirkan. Kalau sudah demikian keadaanya, sungguh tak terbayang besarnya kemungkinan azab yang bisa datang,” terangnya.
Ia pun mengajak kepada setiap orang yang hadir saat itu sekaligus secara umum umat manusia untu mengevaluasi diri atas pelaksanaan hakikat kemerdekaan.
“Maka dari itu kini saatnya kita harus berani introspeksi dan mengevaluasi: mampukah kemerdekaan kita selenggarakan tanpa melanggar dan mencederai hak orang lain, hak rakyat, hak bangsa?,”tanyanya.
Di lain sisi, Saratri Wilonoyudho menyayangkan jika di era kemerdekaan saat ini justru banyak peninggalan leluhur yang semakin menghilang. Tidak hanya kekayaan alam, tapi juga kesenian, teknologi, bahasa maupun berbagai kekayaan luhur lainnya.
“Padahal itu modal kekuatan bangsa ini. Kekayaan alam sudah semakin tergerus lantaran kerakusan para koruptor,” katanya.
Dalam hal teknologi misalnya, Indonesia memiliki sistem persenjataan yang kuat seperti keris yang terbuat dari puluhan lapis, kapal yang banyak diakui terbaik di masanya.
“Kita juga punya obat-obatan herbal. Namun karena itu tidak ada di barat, seolah-olah obat herbal dianggap tidak berkhasiat. Borobudur juga, itu juga menunjukkan betapa hebatnya leluhur kita di zaman dulu,” tambahnya.
Persoalan dunia pendidikan pun saat ini dinilai kian merosot. Pendidikan banyak dikomersialisasi dan hanya mengejar ranking serta demi kebutuhan pekerjaan belaka.
“Padahal nenek moyang kita dulu benar-benar luar biasa dalam mencari ilmu. Tapi sekarang ini banyak yang hanya mengejar gelar bukan ilmu. Inilah yang menyebabkan derajat kita tak pernah naik, dan tentu saja ini memperlemah posisi kita sebagai sebuah bangsa,” tambahnya.
Pola pandang seperti itu pulalah yang disebut Saratri sebagai salah satu penyebab utama terjadinya perilaku korup. Banyaknya orang yang dihormati hanya karena kekayaannya, maka tak mengherankan bila kemudian banyak yang berlomba mengejar untuk menjadi kaya. Sehingga mau melakukan apapun, termasuk melanggar aturan.
Sementara itu, Abdul Jalil mengingatkan bahwa kata merdeka memiliki makna yang begitu baik. Merdeka jika diserap dari bahasa sansekerta maka berasal dari kata Maha Ardika. Dimana ada empat poin kunci yakni pengetahuan, kebijakan, kekuatan dan kekayaan.
“Empat hal itu sendiri sebenarnya telah ada di Pancasila. Kalau kita pakai kata kemerdekaan dalam pengertian tersebut, sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa bangsa yang merdeka adalah bangsa yang cerdas, bijak, punya kekuatan dan sejahtera. Bila empat parameter tersebut tidak ada, maka kita tidak atau belum bisa menyebut bangsa tersebut sebagai bangsa yang merdeka. Nah, berdasar parameter tersebut, mestinya kita masing-masing bisa membuat penilaian: sudahkah kita mencapai kemerdekaan?”
Menggaris-bawahi pendapat tersebut, Ilyas Arifin mengatakan bahwa kondisi rakyat Indonesia hampir seperti banyak kondisi negara yang dikategorikan berkembang, sedang kemerdekaan justru sering ditandai dengan mengerucutnya kekuatan dan kekayaan pada kelompok kecil. Sementara pihak yang berkuasa seolah meninggalkan yang lain di samudra ketidak-berdayaan dan kemiskinan.
“Dari semua itu, yang paling mengenaskan adalah kenyataan bahwa yang selalu tersingkir dan hampir selalu menjadi korban pertamanya adalah pengetahuan dan kebijakan, dan orang-orang yang setia terhadapnya,” tuturnya. (Lingkar Network | Harianmuria.com)