PATI, Harianmuria.com – Keberadaan Ngaji NgAllah Suluk Maleman bagaikan oase ditengah gempuran persebaran informasi di jagat maya. Tak henti-hentinya majlis ini menyajikan muatan agama yang khas dengan problematika masrakat. Seperti tema ‘Gagap Membaca Isyarat’ yang diusung pada malam itu.
Bagi masyarakat Jawa, ilmu titen yang dipercaya dan diyakini penting untuk membaca tanda-tanda alam. Seperti halnya saat terjadi bencana. Hanya saja, kepekaan dalam membaca isyarat itulah yang sekarang ini justru mulai ditinggalkan.
Anis Sholeh Ba’asyin mengutarakan hal tersebut saat digelarnya Suluk Maleman pada Sabtu (17/12) malam. Dikatakannya, kepekaan itu merupakan anugerah dari Allah.
“Ada banyak tanda misalkan saat akan ada bencana seperti gunung meletus, tsunami maupun yang lainnya. Bagi orang Jawa dikenal sebagai ilmu titen, ilmu yang dibangun berdasar statistik kejadian yang berulang” tambahnya.
Hanya saja kemampuan dalam membaca isyarat tersebut saat ini mulai jarang yang memiliki. Keberadaan ilmu titen dalam membaca tanda alam dianggap kalah dari ilmu lain yang lebih modern.
“Saat ini kian tergerus. Padahal tekhnologi modern pun tak mampu menjamin secara pasti,” terangnya.
Kepekaan mengenali tanda dikatakannya sangat penting. Kedekatan pada Allah diakuinya dapat membuat kepekaan lebih tinggi. Begitu pula peka dalam mengelola tubuh maka akan berbanding lurus dengan pengelolaan terhadap alam.
“Jika kita dikatakan sering mengalami bencana karena berada di daerah rawan, padahal organ tubuh kita juga cukup rawan. Namun hal itu akan menjadi baik jika mampu dikelola dengan baik. Begitu juga potensi kerawanan akan kondisi alam,” tambahnya.
Dalam ajaran Jawa ada ajaran terkait tiga tingkatan isyarat. Yakni dupak bujang, semu mantri, dan esem bupati.
Dupak bujang adalah penyampaian pesan secara lugas. Sementara semu mantri menggunakan simbol-simbol meski masih bisa terbaca.
“Sedangkan esem bupati itu lebih samar lagi. Lebih penuh simbol dan makna, yang untuk memahaminya butuh kejernihan” ujarnya.
Muhajir Arrosyid, dosen Upgris Semarang yang malam itu menjadi salah seorang narasumber, mengatakan bahwa suasana yang jernih akan menumbuhkan kepekaan lebih tinggi, seperti halnya saat orang tengah berpuasa.
“Orang Jawa dulu banyak memahami ilmu titen. Seperti saat gunung meletus, biasanya akan ada burung tertentu yang terbang berputar,” tambahnya.
Budi Maryono, budayawan malam itu menjadi salah satu narasumber, menyebut bahwa kepekaan dalam membaca tanda itu sekarang ini telah banyak dikonversi menjadi pengetahuan. Kemudian pengetahuan dikonversi jadi tekhnologi.
“Sedangkan kita terlalu bergantung pada tekhnologi hingga membuat kepekaan kita melemah. Ada banyak ilmu titen yang bisa membantu baik dalam pertanian, mitigasi bencana, maupun penanda lainnya; tapi sekarang sudah banyak yang melupakannya karena ketergantungan pada tekhnologi,” tambahnya.
Seperti anak pelaut saat ini belum tentu lagi bisa memahami ilmu perbintangan maupun arah angin. Padahal hal itu telah dipelajari nenek moyang.
“Saat ini yang menjadi PR kita adalah menjaga kedekatan dengan Tuhan serta meningkatkan rasa simpati dan empati terhadap sesuatu diluar kita. Empati itu tidak hanya saat terjadi sesuatu saja. Seperti saat bencana menyumbang logistik,” tambahnya.
Namun empati seharusnya dibangun jauh sebelum terjadi sesuatu. Seperti mulai bergerak menanam jika hutan gundul, itu adalah bentuk empati yang lebih hakiki, karena menjaga sesuatu sebelum bencana terjadi.
Topik yang dibahas dalam Suluk Maleman edisi ke 132 itu kian meriah dengan pertunjukkan musik dari Sampak GusUran. Meski lokasi acara sempat terendam air hujan, namun iotu tak menghalangi orang untuk mengikutinya.(Lingkar Network | Harianmuria.com)