PATI, Harianmuria.com – Dalam tradisi Jawa, komunikasi dikategorikan dalam tiga model, yakni esem (senyum), semu (isyarat simbolik), dan dupak (terus terang). Kategori ini muncul dari variasi komunikator dan audiensnya. Kategorisasi inilah yang diangkat dan dipakai sebagai pisau analisa dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman “Gen-Dupak” yang digelar pada Sabtu (16/9/2023).
Anis Sholeh Baasyin, penggagas Suluk Maleman, menyebut dalam filosofi itu berkembang di dunia komunikasi terutama dalam hal menangkap pesan. Esem menjadi model komunikasi tertinggi lantaran masih berupa pesan simbolik non verbal. Esem bisa juga termasuk verbal tapi inti pesannya masih sangat ditentukan oleh kemampuan audiens menyerap, memilah, dan memilihnya.
“Seperti halnya saat Al-Qur’an menyebut bahwa dalam khamr ada kebaikan dan keburukan. Meski keburukannya lebih besar. Jika audiensnya memiliki kepekaan tinggi tentu langsung menangkap persannya bahwa tidak boleh meminum khamr karena banyak buruknya,” terangnya.
Dalam kategori semu, pesan disampaikan lewat serangkaian simbol verbal. Meski letaknya di bawah model esem, tapi pesan ini pun masih sangat ditentukan oleh kemampuan audiens untuk menafsirkannya. Kalau mengambil contoh dari Al-Qur’an, semu ini sejajar dengan ayat yang melarang salat saat mabuk. Meski masih bersifat terbatas, tetapi pernyataan ini sebenarnya semakin mempertegas pesan pokok yang ingin disampaikannya, yakni untuk menghindari khamr.
“Nah, jika ada yang lebih jelas, tegas, langsung definitif menuju sasaran yang dimaksud atau bloko suto itu pada model komunikasi dupak. Contohnya dalam Al-Qur’an adalah ketika khamr secara umum diharamkan. Jadi, isi pesannya sangat jelas, tak perlu dan tak membuka ruang tafsir untuk memahaminya” ujar pengurus Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu.
Hanya saja, lanjut Anis, sekarang masalahnya tak sesederhana itu. Dari satu sisi, banjir informasi akibat terbukanya ruang internet, justru membuat posisi pesan menjadi tidak jelas.Terlebih di era media sosial seperti sekarang ini.
“Kalau dilihat di medsos. Antara satu pihak dengan pihak lainnya saling menegasikan satu sama lain. Ini tentu akhirnya membuat bingung. Hal ini tentu kemampuan memaknai pesan dan menjadikan fokus terpecah-pecah. Sehingga akhirnya penentuan untuk menangkap pesan hanya mengandalkan emosi. Cocok yang mana, suka yang mana, bukan lagi mana yang diyakini benar,” tambahnya.
Oleh karena itu, Anis mengingatkan bahwa pada dasarnya manusia harus memahami bahwa dia tidak akan pernah bisa menyimpulkan sesuatu secara sempurna. Terlebih di saat komunikasi dan informasi telah banyak yang terkorupsi. Sehingga harus benar-benar bijak dalam bersikap.
“Dalam kondisi semacam ini, bahasa sebagai pengantar pesan pun dibuat menjadi tidak memiliki arti apa-apa, simbol-simbol yang dipakainya menjadi tidak pasti semua. Hal itu membuat pesan yang diberikan secara jelas dan tegas dengan model dupak pun sering tidak juga bisa dipahami. Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa ini adalah abad kematian bahasa. Salah satu penyebabnya yang tampak jelas di permukaan adalah dominasi politik. Politik hari ini seringkali membuat bahasa kehilangan makna, dan sekadar menjadi sampah,” tambahnya.
Sementara itu, Budayawan Budi Maryono juga menyebut sekarang ini banyak polusi bahasa. Saat ini sesuatu yang serius seringkali dianggap guyonan dan begitu sebaliknya.
“Semua pesan susah, nyaris tak tersampaikan. Manipulasi bisa terjadi di mana pun. Apalagi saat kampanye, hati-hati,” katanya.
Dia juga menyoroti keberadaan media sosial termasuk tiktok yang cukup mengkhawatirkan. Dia melihat banyak orang yang menafsirkan Al-Qur’an. Meski tampak meragukan, tetapi tafsir itu disampaikan dengan begitu meyakinkan. Alhasil banyak yang percaya dan mengikutinya.
“Tak sedikit yang kemudian merasa paling benar. Padahal hal itu akan memunculkan ego dan kesombongan. Sedang orang sombong tidak akan masuk surga. Kalau tidak di surga tidak ayem. Iblis juga hancur karena sombong. Tentu yang tahu secara terang dan tersembunyi hanya Allah,” tambahnya.
Anis Sholeh Baasyin menambahkan, jika jujur pada diri sendiri nantinya dibuka untuk menafsirkan. Hanya saja hal itu tentu untuk kebutuhan personal. Orang yang terbiasa membaca nantinya akan terbimbing dan mendapatkan pemahaman serta hubungan dialektis antara pembaca dan ayat yang dibaca.
“Setiap orang tentu berbeda-beda. Tapi itu tentu untuk tidak dipublikasikan. Kalau dipublikasikan harus ada runtutan keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam tadabur ada berbagai perangkat. Bahkan ada banyak hal yang mungkin kita gak paham,” tambahnya.
Sebelum menyimpulkan sesuatu, Anis pun mengajak untuk selalu waspada pada diri sendiri. Dia juga selalu mengajak untuk mendekat pada Allah.
“Jangan sampai kita kehilangan momen untuk mengetahui diri kita siapa,” tambahnya.
Topik itupun membuat jalannya ngaji budaya di rumah Adab Indonesia Mulia semakin hangat. Ratusan orang tampak menyaksikan baik secara langsung maupun melalui berbagai kanal media sosial. Musik Sampak GusUran juga kian memeriahkan Suluk Maleman edisi ke 141 tersebut. (Lingkar Network | Harianmuria.com)