SEMARANG, LINGKAR- Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Semarang menggelar aksi demo di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Selasa (18/2/2025). Massa aksi yang tergabung dalam BEM Semarang Raya itu menuntut pemerintah untuk membatalkan kebijakan efisiensi anggaran pada sektor pendidikan.
Massa mengecam kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto atas penerbitan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 mengenai efisiensi anggaran. Sebab, efisiensi tersebut berimbas pada anggaran sektor pendidikan, seperti pemotongan anggaran Beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) dan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI).
Mereka menggugat agar efisiensi anggaran tidak berdampak pada sektor pendidikan. Selain itu mereka juga menuntut transparansi anggaran yang diefisiensi.
Aksi yang dimulai pukul 14.30 WIB itu dijaga ketat oleh puluhan aparat kepolisian yang membentuk pagar berdiri. Massa aksi membawa spanduk dan poster berisi kritik atas kondisi yang terjadi di negara saat ini, antara lain poster bertuliskan ‘Indonesia Gelap’.
Dalam aksinya, massa membakar spanduk dan juga melumuri pintu gerbang dengan kotoran sapi, sebagai simbol ketidakpuasan mereka kepada pemerintahan Prabowo-Gibran.
Nabilla Zifni Syafira dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Korkom Universitas Diponegoro (Undip) Semarang mengatakan, para mahasiswa menolak efisiensi anggaran sektor pendidikan untuk dialihkan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Menurutnya, jika anggaran pendidikan dipangkas ada kemungkinan nanti uang kuliah tunggal (UKT) juga akan ikut naik. Selain itu juga akan berdampak pada dana KIP-K. “Kalau dananya dipotong, akan sangat menyulitkan teman-teman yang ingin kuliah karena dari KIPK itu sendiri sumber penghidupan mereka,” tegas Nabilla.
“Mereka bayar uang kuliah dengan uang KIP-K itu sendiri dan mereka juga untuk menghidupi dirinya sendiri di perantauan seperti kita, itu dari uang KIP-K,” imbuhnya.
Menurutnya, pendidikan seharusnya justru menjadi sektor paling prioritas. Jika pemerintah mengalihkan anggaran untuk program lain dikhawatirkan bisa menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.
“Kami kecewa, marah, karena menurut saya kebijakan ini benar-benar tidak mempertimbangkan bagaimana kondisi faktual rakyat dan sangat merugikan rakyat,” ucapnya.
(SYAHRIL MUADZ – Harianmuria.com)