SEMARANG, Harianmuria.com – Rencana Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) untuk melakukan penulisan ulang sejarah nasional menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari keluarga pahlawan nasional.
Salah satunya datang dari Haryo Goeretno, putra ketiga Pahlawan Revolusi Kolonel Sugiono. Ia menyayangkan tidak adanya pelibatan keluarga pahlawan dalam proses tersebut.
Pak Yoyok, sapaan Haryo, mengungkapkan keheranannya atas proyek penulisan ulang sejarah ini. Ia mempertanyakan arah dan tujuan kebijakan tersebut, serta menilai bahwa pemerintah tidak transparan dan tidak inklusif.
“Kalau sejarah mau di-update, apanya yang mau diluruskan? Kenapa keluarga pahlawan tidak dilibatkan?” ujarnya di Semarang, Jumat (30/5/2025).
Sebagai Ketua Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) Jawa Tengah, Pak Yoyok menyebut bahwa sejak 1990-an, keluarga pahlawan tidak pernah diajak berdiskusi dalam proyek sejarah apa pun. Ia mengingat, terakhir kali pelibatan dilakukan saat penulisan sejarah pada tahun 1970-an.
Pak Yoyok juga menduga bahwa proyek ini hanya mengacu pada literatur yang sudah ada, tanpa menyertakan sumber primer dari saksi sejarah atau narasi baru yang lebih kontekstual. Ia menilai, fokus penulisan ulang terlalu sempit jika hanya menyoroti nilai-nilai kepahlawanan tanpa memahami latar sosial-politik saat itu.
Ia menegaskan pentingnya penulisan sejarah yang menyeluruh, dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, termasuk tragedi Reformasi 1998 yang menurutnya tidak boleh dihapus dari ingatan kolektif bangsa.
“Peristiwa 98 adalah bagian penting. Kalau narasi tentang PKI tidak diubah, itu wajar agar menjadi pelajaran. Tapi sejarah yang lain jangan dihilangkan.”
Negara Tidak Boleh Jadi Penulis Sejarah
Kritik juga datang dari Prof Wasino, Ketua Masyarakat Sejarawan Jawa Tengah dan Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Semarang. Ia menilai bahwa negara tidak seharusnya menjadi pelaku utama dalam penulisan sejarah nasional.
“Pemerintah seharusnya memfasilitasi, bukan menulis sejarah. Kalau ditulis oleh negara, narasinya bisa tunggal dan itu berbahaya,” tandasnya.
Menurut Wasino, di era demokrasi pasca-Reformasi, sejarah seharusnya dibentuk oleh berbagai perspektif, bukan dominasi satu lembaga negara.
Kemenbud Belum Beri Penjelasan Resmi
Diketahui, proyek penulisan ulang sejarah nasional ini melibatkan lebih dari 100 sejarawan, tetapi hingga kini Kemenbud belum memberikan penjelasan resmi terkait metodologi, sumber data, maupun keterlibatan publik. Menteri Kebudayaan Fadli Zon juga belum menanggapi berbagai kritik yang muncul dari masyarakat, akademisi, dan keluarga pahlawan.
(RIZKY SYAHRUL – Harianmuria.com)