BLORA, Harianmuria.com – Ketidakpastian hukum masih menghantui ribuan warga Kabupaten Blora yang menggantungkan hidup pada aktivitas penambangan minyak di Sumur Tua Ledok dan Semanggi.
Sejak kontrak dengan Pertamina diputus pada 26 Februari 2025, mereka terpaksa berhenti bekerja dan menunggu kejelasan regulasi yang dijanjikan.
Ketua Perkumpulan Penambang Sumur Timba Ledok (PPMSTL) Daryanto mengungkapkan, ada 731 warga Ledok, Kecamatan Sambong, Blora, yang secara langsung terlibat dalam penambangan sumur tua. Namun, ‘puasa nambang’ akibat pemutusan kontrak itu memiliki dampak yang jauh lebih luas.
“Setiap penambang memiliki keluarga, anak, dan istri. Jika dihitung secara keseluruhan, ribuan perut (warga) terdampak langsung oleh penghentian aktivitas ini,” kata Daryanto, Sabtu (10/5/2025).
Bersama ratusan warga lainnya, Daryanto masih menanti kepastian hukum yang kabarnya sedang diproses di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Mereka berharap agar pemerintah segera memberikan solusi agar masyarakat Ledok dapat kembali bekerja.
“Harapan utama kami saat ini adalah bagaimana caranya agar masyarakat Ledok bisa kembali bekerja,” tegasnya.
Baca juga: Izin Tambang Sumur Minyak Tua di Blora Diputus, Kerugian Capai Miliaran Rupiah
Menurut Daryanto, puasa nambang yang berjalan sejak Februari lalu adalah situasi mendesak yang harus diakhiri. Turunnya payung hukum tidak dapat ditunda-tunda, karena menyangkut hajat hidup orang banyak untuk terhindar dari kemiskinan.
Ia khawatir hal itu akan menimbulkan masalah sosial baru. “Kalau sudah miskin, pasti segala macam cara akan dipakai untuk melanjutkan hidup,” ujarnya.
Kendati puasa nambang, Daryanto bersyukur warga Ledok masih menjaga kondusivitas dan mengikuti arahan dari pihak berwenang selama dua bulan terakhir.
Baca juga: Warga Pertanyakan Kepastian Izin Tambang Sumur Tua, Wabup Blora Minta Bersabar
Daryanto juga menceritakan bahwa aktivitas penambangan di sumur tua Ledok telah beberapa kali mengalami perubahan payung hukum. Namun, puasa nambang seperti saat ini baru pertama kali terjadi setelah adanya pemutusan kontrak dari Pertamina.
“Sudah berproduksi sejak tahun 1998. Sejak tahun itu, aktivitas penambangan sudah sering berganti payung hukum. Hingga akhirnya pada tahun 2017, dilakukan kerja sama dengan BPE (Blora Patra Energi) sebagai landasan hukum hingga tahun ini,” jelasnya.
Ia berharap, tahapan-tahapan yang telah dilalui selama ini dapat membuahkan kebijakan baru, sehingga percepatan penerbitan perizinan segera terealisasi.
“Kami sudah sempat mengirim surat ke dirjen dan kementerian,” tuturnya.
Menurutnya, percepatan izin sangat penting mengingat aktivitas penambangan sebelumnya merupakan kegiatan yang dilindungi oleh payung hukum yang jelas.
“Di Ledok sendiri, merupakan titik sumur minyak yang sudah aktif, bukan sumur baru atau sumur yang akan diaktifkan kembali. Sebelumnya, aktivitas penambangan juga legal dan dilindungi oleh hukum,” terang Daryanto.
(EKO WICAKSONO – Harianmuria.com)