JOMBANG, Harianmuria.com – Problematika yang dihadapi lulusan dari pendidikan pondok pesantren dan Ma’had Aly untuk melanjutkan ke jenjang umum seringkali dipersulit. Hal ini disampaikan Ketua Asosiasi Ma’had Aly Indonesia (Amali) KH Nur Hannan saat sosialisasi Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 oleh Majelis Masyayikh Pesantren di aula gedung Yusuf Hasyim lantai tiga Pesantren Tebuireng, Jombang.
Pasalnya, ijazah yang dikeluarkan pesantren dianggap tidak sesuai sehingga tak diakui oleh jalur pendidikan formal. Mengetahui hal itu, Kiai Hannan menyesalkan masih banyaknya pihak yang justru belum memahami tentang UU Pesantren Nomor 18 Tahun 2019, sehingga berdampak pada pengakuan ijazah lulusan Ma’had Aly.
Sebagaimana diketahui, Ma’had Aly sendiri telah memiliki landasan hukum, yakni berupa UU Pesantren No 18 Tahun 2019, Peraturan Menteri Agama No 31 Tahun 2020, dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag No 2669 Tahun 2021.
Menurutnya, di UU tersebut sudah sangat gamblang menyatakan bahwa lulusan pesantren memiliki hak yang sama. Terkhusus untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, baik sejenis maupun tidak sejenis.
Selanjutnya, Kiai Hannan juga menyoroti bahwa lulusan pesantren dan Ma’had Aly berhak untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sama. Bahkan, lanjutnya, poin itu sudah ada di undang-undang.
“Sebenarnya persoalan utama bukan pada regulasi. Tapi, mungkin pada sosialisasi UU Pesantren yang belum dipahami oleh pihak lain. Sehingga kemudian belum bisa mengakui ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren semisal Ma’had Aly,” terang sosok yang kerap disapa Kiai Hannan, Selasa (29/11).
Oleh karena itu, Kiai Hannan meminta kepada Majelis Masyayikh Pesantren untuk gencar mensosialisasikan UU Pesantren baik ke instansi pemerintah, instansi pendidikan, dan masyarakat luas, serta tidak hanya dilakukan di lingkup pesantren saja.
Setelah adanya UU Pesantren, lanjutnya, seyogyanya pendidikan formal maupun non formal yang ada di pesantren dapat diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pesantren. Sebab jika tidak, keterbatasan anggaran yang dikucurkan kepada lembaga di wilayah direktorat di bawah ditjen tak akan memenuhi kebutuhan pesantren di Indonesia.
Hal ini mengingat, pendidikan pesantren berada di bawah naungan direktorat. Sedangkan pendidikan Diniyah dan Ma’had Aly berada di bawah sub direktorat.
“Akibatnya anggarannya terbatas, SDM-nya sangat sedikit. Sehingga ada bantuan yang seharusnya bisa diberikan, tapi tidak bisa. Itu masukan yang kita sampaikan,” terangnya. (Lingkar Network | Harianmuria.com)