Harianmuria.com – Ibadah Haji adalah rukun Islam yang kelima. Meski dikatakan sebagai rukun Islam, tidak semua umat muslim di dunia diberi kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji di tanah suci Makkah. Allah AWT berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 97, diterangkan bahwa haji diperuntukan bagi yang mampu:
“Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”.
Maka seyogyanya, sebagai seorang muslim yang telah dikatakan mampu untuk melaksanakan kewajiban untuk menunaikan ibadah haji dan melengkapi rukun Islam yang kelima. Kemudian pulang ke tanah air kembali dengan menyandang gelar haji bagi siapa pun yang telah melaksanakannya.
Asal mula gelar haji
Sebutan haji bagi seseorang yang telah melaksanakan rukun Islam yang kelima ini tidak dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dapat dilihat dari nama-nama sahabat Nabi yang tidak ada imbuhan kata haji pada depan namanya. Sebut saja Ali bin Ali Thalib, Usman bin Affan, Umar bin Khattab, dan yang lainnya tidak menggunakan gelar haji didepannya. Begitupun dengan para generasi awal penyebar agama Islam di bumi pertiwi.
Tokoh-tokoh penyebar Islam di Indonesia tidak ada yang disebut dengan gelar haji. Hal tersebut dibuktikan dengan Islamisasi di Kerajaan Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia (Alfian, 1973:23). Begitiupun dengan peneybar Islam di Jawa yang dilakukan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim dan para ulama lain yang tergabung dalam Walisongo.
Gelar haji baru dapat dijumpai pada masa Kerajaan Banten yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Dikisahkan, Sultan Ageng mengutus santrinya yang bernama Betot pergi ke Makkah. Sepulangnya ke Banten, ia dipanggil dengan sebutan Haji Fatah oleh Sultan Ageng (Djajadiningrat, 1983:73). Dari kisah tersebut, dapat ditarik kesimpulan jika awal mula nama haji itu bermula dari Kerajaan Banten.
Akan tetapi, penulis buku Atlas Walisongo, Agus Sunyoto menyatakan bahwa gelar haji mulai muncul populer sejak 1916 saat pemerintahan masih di pegang oleh Belanda. Kemunculan orang-orang bergelar haji ini membuat pemerintah Belanda khawatir karena mereka dianggap seringkali melakukan pemberontakan. Ilmu yang mereka dapatkan dari tanah suci dianggap sebagai alat untuk mengusir Belanda dari bumi pertiwi.
Sebab para pemberontak Belanda pada masa itu kebanyakan dipelopori oleh para guru thariqah, haji, dan ulama dari pesantren. Sehingga kelompok-kelompok inilah yang kemudian dianggap oleh para kompeni sebagai biang kerok karena telah membuat mereka kuwalahan. Atau para umat muslim yang telah dijuluki sebagai haji ini pada masa pendudukan Belanda disebut sebagai penggerak anti penjajahan (Wiltox:1997).
Selain itu, sejarawan asal Belanda Snouck Hurgronje pernah berkata, haji bagi pribumi ini diterapkan oleh Belanda dengan maksud untuk mempermudah pengawasan mereka karena intelektual seorang haji dianggap berbahaya sebagai pemicu pemberontakan. Bahkan dibuatlah Konsultan Jenderal pertama di Arab Saudi tahun 1872 untuk mencatat pergerakan jamaah haji dari Hindia-Belanda (sebutan Indoneisa pada masa penjajahan). Sehingga dengan sebutan haji, orang pribumi dapat mudah dikenali dan diawasi.
Sudah membudaya
Namun sekarang, penambahan nama haji bagi setiap orang yang telah pergi ber-haji sudah menjadi suatu budaya yang sudah umum dijumpai. Terlebih ada sebuah hadist yang menyatakan bahwa orang yang sudah menunaikan ibadah haji seluruh dosanya diampuni oleh Allah SWT bagaikan seorang bayi yang baru lahir ke dunia. Oleh karena itu, mereka yang sudah melaksanakan ibadah haji mendapat julukan baru dengan gelar haji di depannya.
“Dari sahabat Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW, ia bersabda, siapa saja yang berhaji, lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat dosa, nisacaya ia pulang (suci seperti hari dilahirkan oleh ibunya,” (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Bagi sebagian umat muslim, melaksanakan haji diidentikkan dengan kesempurnaan seorang muslim. Rasanya tidak sempurna keIslaman seseorang jika belum menunaikan haji. Namun bedanya, apabila pada zaman penjajahan sebutan haji digunakan sebagai basis perlawanan, maka pada masa sekarang lebih identik dengan suatu penghormatan.
Seringkali masyarakat awam menganggap orang yang telah berhaji sebagai orang yang ahli agama Islam. Tetapi kenyataanya, banyak orang di zaman sekarang yang bisa terbang ke tanah suci, asalkan mampu secara finansial.
Menyandang status sebagai haji, seseorang yang kurang terpandang dalam masyarakat kemudian mendadak menjadi seorang yang terhormat. Seolah penyebutan ini sama halnya dengan penyebutan nama Kiai. Padahal istilah penggunaan nama Kiai ini adalah suatu budaya jawa yang mencerminkan penghormatan tanpa memandang latar agamanya (Nanang Saptono, 2019:78). Sehingga, dapat dikatakan bahwa gelar haji ini merupakan suatu penghormatan kepada kaum muslim yang sudah melaksanakan rukun Islam yang kelima.
Relevansi masa kini
Tanpa disadari, penghormatan yang secara berlebih kepada para haji ini telah menimbulkan suatu strata atau lapisan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab gelar haji diidentikkan dengan kekayaan, kekuasaan, keturunan, dan pendidikan (Abu Rasyad, 2017:3). Dalam ilmu sosiologi, perbedaan golongan golongan ini akan menimbulkan perbedaan antara hak dan kewajiban masyarakat antara yang berkedudukan tinggi dengan yang berkedudukan rendah. Sehingga penghargan yang tinggi inilah yang secara tidak langsung menjadi alasan lain bagi masyarakat pada umumnya untuk berlomba-lomba pergi ke tanah suci.
Menurut para pakar, kebanggaan seseorang akan gelar haji yang disematkan kepadanya harusnya tidak perlu diperjelas dalam bentuk nama depan. Oman, salah seorang Pengendali Teknis Ibadah Haji Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2019 beranggapan, penggunaan gelar haji ini akan merusak citra seorang muslim karena terlalu membanggagakan dirinya sendiri. Ia khawatir penyematan gelar haji dapat berdampak pada keikhlasan para jamaah haji.
“Salah satu ciri mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan muhsin. Berbuat baik sepanjang masa, selalu menebar kedamaian, baik ketika maupun usai menunaikan ibadah haji,” kata Oman dikutip dari Kemenag.go.id.
Sehingga, pada masa sekarang ini, penyebutan gelar haji bagi seseorang yang telah menjalankan rukun Islam yang kelima tersebut dirasa tidak perlu. Mengingat sejarah dari sebutan haji hanya untuk mengawasi jamaah haji, bukan semata-mata mereka ahli agama. Terlebih pada zaman sekarang, orang dapat dengan mudah pergi ke tanah suci asalkan punya finansial yang mumpuni. (Lingkar Network | Arif Febriyanto | Harianmuria.com)