Harianmuria.com – Penyebaran agama Islam yang ada di suatu daerah tidak terlepas dari peran seorang da’i atau tokoh pembawa ajaran Islam. Namun dalam prosesnya, mereka seringkali dihadapkan berbagai kesulitan-kesulitan. Sebagai subyek penyebaran dakwah, para da’i ini menggunakan berbagai macam metode dan pendekatan yang beragam dengan menyesuaikan adat istiadat dan kebiasaan untuk menyelesaikan problematika tersebut.
Tidak dapat dipungkiri jika kabupaten Pati sendiri termasuk dari basis penyebaran agama Islam di Jawa Tengah. Terdapat beberapa tokoh agama yang dikeramatkan bahkan dianggap waliyullah karena dikenal sebagai penyebar ajaran Islam oleh masyarakat Pati. Tentunya para tokoh tersebut memiliki ciri khas tersendiri dalam proses pendekatan dakwahnya.
Siapa saja kah mereka? Simak ulasan berikut ini.
Syekh Jangkung
Syekh Jangkung sebenarnya memiliki nama asli yaitu Syarifuddin dan merupakan putra dari Sunan Muria. Namun karena logat masyarakat Jawa, nama Syarifudin beralih menjadi Saridin. Sementara gelar “Syekh” yang dimiliki oleh Saridin diperolehnya dari negera Andalusia. Sedangkan nama “Jangkung” merupakan pemberian dari gurunya Sunan Kalijaga yang memiliki makna dilindungi, diayomi, dipelihara, dididik, dan selalu dalam naungan.
Perjalanan dakwah Syekh Jangkung pertama kali dimulai ketika diperintahkan oleh gurunya yakni Sunan Kalijaga untuk menyebarkan Islam di sebuah desa bernama desa Miyono. Di sana, Syekh Jangkung sempat dituduh membunuh lelaki kaya raya bernama Branjung. Namun Syekh Jangkung membantahnya dan mengatakan bahwa kejadian mengenaskan itu karena ulah Branjung sendiri. Semalam sebelum kejadian mengenaskan itu, Syekh Jangkung dan Branjung pergi bersama menjaga pohon durian untuk dibagi dua. Entah mengapa, saat itu Branjang ingin menakuti Syekh Jangkung dengan menyamar menjadi Macan sengguhan. Lalu Syekh Jangkung yang tidak mengetahui wujud Branjang itu, lantas mengambil bambu runcing dan menusukkan perwujudan macan tersebut beberapa kali hingga tewas. Sebagai pertanggung jawaban atas tindakan tersebut, Syekh Jangkung dijatuhi hukuman mati di hutan Pati. Tetapi Syekh Jangkung ternyata masih hidup dan lari meninggalkan hutan lalu menuju Kudus. Di Kudus inilah ia bertemu dan berguru dengan Sunan Kudus.
Keistimewaan Syaikh Jangkung sudah terlihat ketika berguru dengan Sunan Kudus, ia pun sempat dianggap paling pintar di perguruannya. Mengetahui akan hal itu, pada suatu hari Sunan Kudus pun menguji kesaktiannya dengan memberinya beberapa pertanyaan yang sulit. Sunan Kudus bertanya kepadanya “Apakah setiap air pasti ada ikannya?”, lalu Syekh Jangkung menjawab, ”Ada, Kanjeng Sunan”. Mendengar jawaban tersebut, Sunan Kudus langsung mengutus salah satu murid untuk memetikkan buah kelapa di halaman dan kemudian buah itu dipecah.Ternyata jawaban dari Syekh Jangkung tepat sasaran, air di dalam buah kelapa tersebut terdapat seekor ikan. Sunan Kudus tersenyum ketika melihat kejadian tersebut.
Selain itu, Syekh Jangkung juga dikenal sebagai seorang pengembara. Menurut riwayat yang ada, dirinya pernah berkembara diluar daerah Pati, salah satunya wilayah Kulonprogo. Bahkan Syekh Jangkung pernah menjalin persaudaraan dengan Raja Mataram, Sultan Agung dan sempat bekerja sama untuk menumpas habis kejahatan di sana serta dipersilahkan untuk menyebarkan agama Islam. Atas prestasinya tersebut, Syekh Jangkung pun dinikahkan dengan adik Sultan Agung, Retno AJi.
Setelah wafat, Syekh Jangkung kemudian dimakamkan di desa Landoh, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Indonesia. Berdasarkan akte notaris nomor 23 tahun 1995, Makam Syeh Jangkung didaulat sebagai “maqbaroh umum” umat Islam.
Nyai Ageng Ngerang
Nyai Ageng Ngerang diperkirakan lahir sebelum tahun 1478 M, memiliki nama kecil yaitu Nyai Siti Rohmah Roro Kasihan. Dirinya merupakan seorang tokoh ulama wanita wali nukbah yang hidup semasa dengan Walisongo generasi kedua. Sementara daerah penyebaran agama Islam Nyai Ageng Ngerang berada di daerah Juwana dan lereng pegunungan Kendeng Pati.
Di Juwana, Nyai Ageng Ngerang mempunyai nama lain yaitu Nyai Juminah. Namun masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang karena dia merupakan istri dari Kyai Ageng Ngerang I (Sunan Ngerang I atau Syeh Muhammad Nurul Yaqin) yang mempunyai wilayah kekuasaan di Ngerang, Juwana.
Menurut catatan ahli Tarikh, awal mula kedatangannya di desa bermula ketika dirinya merasa terbelenggu dengan kehidupan kerajaan yang memiliki banyak aturan duniawi. Kemudian Nyai Ageng Ngerang melanglang buana untuk mengasingkan diri dari lingkungan kerajaan dan merancang misi dakwah dengan berpindah tempat ke daerah. Saat itu, Nyai Ageng Ngerang singgah di tanah Muria dan di sanalah ia mendapatkan wilayah yang cocok untuk melaksanakan kegiatan dakwahnya yaitu Pati kidul, tepatnya di dusun Ngerang, Tambakromo, Pati.
Sebagai perempuan, dulunya Nyai Ageng Ngerang sempat direndahkan karena pola pemikiran masyarakat saat itu masih menganggap bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Perempuan pada masa itu, dianggap tidak bisa melakukan sesuatu di luar batas kemampuan laki-laki dan memiliki langkah yang sempit. Merasa terkekang dengan pandangan tersebut, konon katanya Nyai Ageng Ngerang menghantamkan Slendang Kemben warisan dari neneknya, Nawang Wulan dan Ki Jaka Tarub ke udara dan keluarlah percikan api yang dinamakan langes. Kemudian langes tersebut dimanapun jatuhnya akan membentuk bumi Ngerang.
Di dusun Ngerang inilah bukti perjuangan akhir dakwah Nyai Ageng Ngerang. Di sini pula sebuah masjid dibangun sebagai tempat istiqomahnya warga dusun melakukan dakwah, tepatnya di muludan, sebelah utara makamnya di dusun Ngerang, kecamatan Tambakromo kabupaten Pati.Tanah pemakamannya disebut dengan tanah kerajaan (sentono), karena dulu di tempat tersebut merupakan tanah sebuah kerajaan di masa hidupnya. Karena dianggap keramat, makam tersebut sangat dihormati dan dirawat oleh warga dusun Ngerang Tambakromo Pati dengan baik, karena Nyai Ageng Ngerang merupakan seorang pendakwah Islam wanita yang tangguh sekaligus perintis cikal bakal dusun Ngerang Tambakromo.
Syekh Mutamakkin
Syekh Mutamakkin merupakan ulama besar yang lahir pada tahun 1675 M di desa Cebolek, Tuban, Jawa Timur, yang saat ini berubah menjadi desa Winong. Karena asal tanah kelahirannya itulah Syekh Mutamakkin juga akrab disapa Mbah Mbolek. Sedangkan kata al-Mutamakkin berasal dari proses rihlah ilmiahnya di Timur Tengah yang bermakna sebagai orang yang meneguhkan hati atau orang yang diyakini kesuciannya. Syekh Mutamakkin jjuga memiliki nama ningrat, yaitu Sumohadiwijaya.
Kepada masyarakat awam yang baru mengenal Islam, Syekh Mutamakkin atau yang kerap disebut Mbah Mutamakkin mengajarkan ilmu hakekat dan tasawuf Islam dengan cara membedah Serat Dewaruci. Menurut perspektif ulama Tuban, hal tersebut dianggap melenceng atau menyimpang dari ajaran Islam.
Pada masa itu, ajaran dari Mbah Mutamakkin banyak ditentang utamanya para ulama kraton Mataram seperti, Katib Anom Kudus yang didukung Katib Witana asal Surabaya dan Katib Busu asal Gresik menegaskan jika dakwah yang dilakukannya perlu dihentikan. Mereka menuduh bahwa dakwah Mbah Mutamakkin akan memunculkan kesesatan. Tidak hanya itu, pemakaian nama Abdul Qohhar dan Qomaruddin pada anjing pelihaaraannya dinilai sebagai penistaan, karena nama tersebut adalah nama dari seorang penghulu dan katib di Tuban.
Kesesatan Mbah Mutamakkin pun disejajarkan dengan ajaran yang diperoleh dari Syekh Siti Jenar pada masa kerajaan Demak dan Syekh Amongraga semasa kerajaan Mataram Islam awal. Dengan permasalahan tersebut, mereka mengajukan usulan untuk menghukumnya dengan cara dibakar. Namun, sang Sultan Pakubuwono ll menolak usulan tersebut.
Mbah Mutamakkin lalu melanjutkan misi dakwahnya menuju arah barat dan sampai ke desa Kalipang, sebuah daerah yang berada di kecamatan Sarang, kabupaten Rembang. Di sana Mbah Mutamakkin menetap dan menyiarkan agama Islam bahkan sempai mendirikan sebuah masjid. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan sampai ke Cebolek, sebuah desa di kecamatan Margoyoso, kabupaten Pati yang pada masa itu masih termasuk kecamatan Juwana. Setelah bermukim di Cebolek beberapa lama, Mbah Mutamakkin lalu hijrah ke Kajen, sebuah desa yang terletak di sebelah barat Desa Cebolek.
Syekh Mutamakkin wafat pada tahun 1740 dan di makamkan desa Kajen, kecamatan Morgoyoso, kabupaten Pati. Syekh Mutamakkin mempunyai tiga orang anak, yaitu Nyai Alfiyah Godek, Kiai Bagus, dan Kiai Endro. Kiai Bagus menetap di Jawa Timur, Nyai Alfiyah di Godeg dan Kiai Endro tetap tinggal di Kajen, Pati.
Raden Ronggo Kusumo
Raden Ronggo Kusumo diperkirakan lahir pada 1660 di desa Mruwut, Bejagung, Tuban. Ia merupakan putra dari Adipati Tuban Ki Agung Mawut yang masih keturunan dari Sultan Demak dan keponakan sekaligus murid dari Syekh Mutamakkin.
Mbah Ronggo merupakan tokoh yang dikenal suka menolong fakir miskin. Ketika di Tuban, Mbah Ronggo seringkali meminta harta benda dari para saudagar kaya karena menganggap bahwa kekayaan tersebut adalah hak fakir miskin.
Tindakan yang dilaukan Mbah Ronggo tersebut mengundang kemarahan dari pemerintahan keraton Kartasura, dan membuatnya ditangkap oleh para pasukan yang diutus. Karena terus diburu oleh prajurit, Mbah Ronggo akhirnya melakukan sebuah perjalanan menuju arah barat dan sampailah di daerah Dawe, Kabupaten Kudus. Di sana, Mbah Ronggo tidak memberikan pertolongan kepada fakir miskin seperti ketika di Tuban, namun lebih mengajarkan ilmu pengetahuan agama kepada orang kaya untuk bersedekah kepada fakir miskin. Dengan demikian, fakir miskin merasa tertolong dan tidak ada lagi permasalahan yang ditimbulkan di lain hari.
Di daerah Dawe juga, Mbah Ronggo mendapatkan julukan sebagai Pangeran Cendana. Mbah Ronggo wafat pada tanggal 10 Safar (kalender hijriyah) dan dimakamkan di desa Kajen, kecamatan Margoyoso, kabupaten Pati.
Itulah beberapa tokoh-tokoh ulama yang mempunyai peran penting dalam menyebarkan agama Islam di kabupaten Pati. Segala lika-liku perjalanan mereka dalam berdakwah dapat menjadi pembelajaran.
Sebenarnya masih ada banyak lagi tokoh-tokoh keagamaan di Pati. Namun tidak ada salahnya dari keempat pendakwah di atas dapat Anda jadikan destinasi wisata religi ke makam para wali yang ada disini. (Kontributor Uin – Harianmuria.com)