JAKARTA, Harianmuria.com – Komisi VI DPR RI memberikan catatan kritis terhadap pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih.
Kekhawatiran utama DPR adalah potensi koperasi hanya menjadi ‘koperasi kertas’ yang tercatat secara administratif, tetapi tidak aktif secara ekonomi.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Menteri Koperasi dan UKM Budi Arie Setiadi, Senin (26/5/2025), Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Nurdin Halid menegaskan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Namun ia menekankan pentingnya mengedepankan kualitas.
Program Kopdes Merah Putih menargetkan pembentukan 80 ribu koperasi di seluruh Indonesia. Namun hingga kini, baru 45 ribu koperasi desa yang terbentuk. Menurut Nurdin, pencapaian kuantitatif tidak boleh mengorbankan kualitas dan keberlanjutan koperasi di lapangan.
“Jangan sampai hanya mengejar angka, tetapi yang terbentuk hanyalah koperasi administratif tanpa kegiatan nyata, koperasi di atas kertas. Ini justru akan mencipatakan beban bagi masyarakat desa,” tandas Nurdin.
Komisi VI juga menyoroti keterbatasan infrastruktur pendukung dan sumber daya manusia. Rasio tenaga pendamping koperasi terhadap jumlah desa dinilai masih timpang, yang dikhawatirkan akan memengaruhi efektivitas pembinaan dan pengawasan koperasi.
Persoalan lainnya adalah belum tersedianya sistem digital nasional yang dapat memantau legalitas, kegiatan usaha, dan pelaporan keuangan koperasi secara real-time. “Ini menghambat transparansi dan akuntabilitas tata kelola koperasi,” kata Nurdin.
Komisi VI juga mengingatkan potensi konflik kelembagaan antara Kopdes Merah Putih dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), terutama jika unit usaha yang dijalankan serupa, seperti simpan pinjam. Tanpa regulasi teknis yang jelas, dikhawatirkan akan terjadi dualisme dan tumpang tindih fungsi.
“Kami mendorong pemerintah untuk memperkuat fondasi kelembagaan, regulasi teknis, dan sistem pengawasan koperasi. Ini penting agar koperasi benar-benar menjadi penggerak ekonomi kerakyatan di desa, bukan hanya simbol administratif,” tegas Nurdin.
(CEPPY BACHTIAR – Harianmuria.com)