Zaman kini, mental illness atau gangguan mental sudah umum terjadi pada siapapun, terutama remaja. Menurut WHO (World Health Organization), satu dari lima anak-anak dan remaja di seluruh dunia mengalami gangguan mental.
Ada lebih dari 200 jenis mental illness yang diketahui, dengan gejala dan tingkat keparahan yang beragam, seperti depresi, gangguan kecemasan, gangguan bipolar, hingga psikosis.
Lalu, apa hubungan mental illness dengan kanker?
Kanker merupakan penyebab kematian kedua terbanyak di seluruh dunia. Kanker terjadi ketika ada mutasi genetik pada sel, sehingga sel tersebut tumbuh tidak normal. Menurut data Globocan (Global Cancer Observatory), pada tahun 2018 angka kasus baru tercatat 348.809, dan mengalami peningkatan menjadi 396.914 pada tahun 2020. Pada 2021, WHO memperkirakan 10 juta jiwa meninggal dunia karena kanker setiap tahunnya dan bahkan, 70 persen angka kematian akibat kanker terjadi pada negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Semua aspek kehidupan penderita kanker mengalami perubahan setelah terdiagnosa. Banyak metode pengobatan kanker yang umum digunakan, yakni kemoterapi, operasi pengangkatan sel kanker, radioterapi, imunoterapi, hingga memberikan obat-obatan yang mampu menghambat mutasi genetik pada sel.
Dalam praktiknya, penanganan kanker di Indonesia masih memiliki hambatan, seperti ketimpangan jumlah fasilitas, hingga terbatasnya jumlah tenaga medis khusus kanker yang kewalahan menangani sekian banyak pasien. Inilah yang menyebabkan tingginya angka kematian akibat kanker di Indonesia.
Lalu, bagaimana nasib mental seorang penderita kanker?
Setiap orang berpotensi mengalami gangguan mental, salah satu faktornya yaitu penyakit fisik kronis. Dengan angka kematian setinggi itu, maka tidak sedikit penderita kanker yang menyerah akan hidup. Terus memikirkan maut yang akan segera menjemputnya. Kekhawatiran akan kematian memenuhi kepalanya. Perasaan sedih, putus harapan, kehilangan minat terhadap apa yang disukai, dan berakhir patah semangat untuk sembuh. Pikiran-pikiran inilah penyebab munculnya mental illness dalam diri penderita, seperti stres, depresi hingga gangguan kecemasan.
Penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas, penurunan konsentrasi, dan perubahan kemampuan seksual sangat mempengaruhi psikologis penderita, yang menyebabkan tidak stabilnya mental.
Pasien dengan penyakit fisik yang parah memiliki gangguan mental setidaknya dua kali lebih banyak dari populasi umum. Sekitar 25 persen wanita mengalami apatis pasca operasi payudara. Dua sampai lima dari sepuluh orang penderita penyakit kronis mengalami gangguan mental emosional, sama meningkatnya dengan jumlah penderita penyakit kronis di Indonesia. Inilah mengapa dukungan dari lingkungan sangat berpengaruh terhadap penderita.
Dukungan ini berupa konseling, edukasi, dukungan spiritual, hingga dukungan kelompok yang kini sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat. Karena banyaknya penderita kanker yang memiliki gangguan mental, sangat penting bagi pelayanan kanker untuk menyediakan pelayanan terintegrasi dan komprehensif di bidang onkologi.
Inilah mengapa peringatan Hari Kanker Sedunia, yang pertama kali dibentuk pada tahun 2000 dan telah diinaugurasi oleh Union for International Cancer Control (UICC) sangat dibutuhkan, sebagai wujud perhatian kepada masyarakat agar lebih sadar dan bermawas diri terhadap penyakit tersebut. Selain itu, Peringatan Hari Kanker Sedunia juga diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait penyakit tersebut.
Diperingati pada 4 Februari di seluruh penjuru dunia, Indonesia juga salah satu negara yang turut memeriahkan peringatan ini dengan berbagai kegiatan, seperti penyuluhan, senam bersama, jalan sehat, dan kegiatan sosial lainnya.
Nuhla Maulidia (seorang pelajar yang harus kehilangan ibu kandungnya karena kanker)