Harianmuria.com – Jepara merupakan salah satu kota yang mempunyai peran penting dalam penyebaran Islam di pulau Jawa. Terdapat beberapa tokoh agama yang dikeramatkan bahkan dianggap waliyullah karena dikenal sebagai penyebar ajaran Islam oleh masyarakat Jepara. Tentunya para tokoh tersebut memiliki ciri khas tersendiri dalam proses pendekatan dakwahnya. Siapa saja kah mereka? Simak ulasan berikut ini.
Sultan Hadlirin
Sultan Hadlirin memiliki nama asli Sayyid Abdurrahman Ar Rumi. Lahir di kota Aceh. Ia memiliki beberapa sebutan yang diperoleh semasa hidupnya yaitu Sunan Hadirin bermakna ulama pendatang (gelar keagaman). Sebutan itu ia peroleh ketika menyebarkan agama Islam di Jepara. Sultan Hadlirin diperoleh ketika menjadi sultan pertama di Jepara. Ada juga sebutan lainnya yakni Pangeran Kalinyamat (gelar tokoh masyarakat) karena ia merupakan pendiri Kota Kalinyamat.
Namun, terdapat sebuah pendapat yang menyebutkan bahwa nama asli Sultan Hadliri adalah Pangeran Toyib, putera dari Sultan Mughayat Syah seorang raja Kesultanan Aceh pada tahun 1514-1528 Masehi.
Sultan Hadlirin memutuskan pergi ke tanah Jawa untuk menyebarkan Islam sekaligus menghindari pertumpahan darah akibat perebutan kekuasaan dengan saudaranya Raden Takyim. Sebelumnya Sultan Hadlirin berkelana keberbagai tempat, ke Makkah bahkan ke Champa hingga berakhir di bandar Jepara dan menikah dengan Ratu Kalinyamat.
Sultan Hadlirin merupakan sosok pemimpin dan ulama yang mencapai puncak kejayaan saat memimpin Kesultanan Kalinyamat. Ia memiliki wilayah kekuasaan yang luas meliputi wilayah Jepara, Pati, Rembang, Juwana, Alas Mentaok (Mataram), hingga Pulau Bawean.
Dalam menyebarkan ajaran Islam, ia menggunakan pendekatan akulturasi budaya. Hal ini dapat dilihat dari Masjid Wali yang berada di desa Loram Kulon, Kabupaten Kudus. Tidak hanya itu, Sultan Hadlirin juga melakukan pendekatan budaya seperti ampyang maulid, kepelan, nganten mubeng gapuro karena dirasa metode penyebaran tersebut lebih mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat dan masih dilestarikan higga saat ini.
Sultan Hadlirinn wafat pada tahun 1549 dan dimakamakan di Komplek masjid Mantingan di Desa Mantingan, Kec. Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Pada 1559, Ratu Kalinyamat membangun sebuah masjid di bukit Pamantingan, satu kompleks dengan makam suaminya. Masjid tersebut kemudian menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jepara yang saat ini dikenal dengan Masjid Astana Sultan Hadlirin.
Ratu Kalinyamat
Ratu Kalinyamat sebenarnya mempunyai nama asli yaitu Retna Kencana dan merupakan putri dari Sultan Trenggono, seorang raja Demak yang memimpin pada tahun 1521-1546 Masehi.
Pada masa Ratu Kalinyamat, kerajaan Kalinyamat mempunyai andil besar dalam penyebaran dan pengembangan agama Islam di Jawa terutama daerah Jepara. Pada masa ini, ia mendirikan masjid Mantingan pada tahun 1559 Masehi.
Masyarakat Jepara memanfaatkan masjid tersebut sebagai tempat beribadah sekaligus lembaga pendidikan keagamaan dan pengajaran Islam. Tidak heran jika pada waktu itu, sebuah masjid sangat penting kedudukannya dalam sebuah kerajaan yang bernuansa Islam.
Di Masjid Mantingan ini, Ratu Kalinyamat dan para wali mengajarkan kepada masyarakat yang baru memeluk Islam untuk mempelajari dan mendalami ajarannya, menjalankan ibadah shalat dan membaca Al Qur’an dengan baik dan benar.
Masjid Mantingan ini mengandung unsur- unsur budaya bernuansa Islam dan budaya tradisional Hindu-Budha yang konon berasal dari petunjuk Sunan Kalijaga kepada Ratu Kalinyamat. Corak bangunan dan ukiran yang terdapat di masjid, memperlihatkan kesinambungan tradisi pra Islam dengan tujuan lain untuk menarik perhatian masyarakat yang belum masuk Islam, sehingga mereka senang mengunjungi masjid ini.
Ratu Kalinyamat juga membentuk Komunitas Islam Santri, lantaran masyarakat Jepara tergolong taat dan patuh menjalakan ajaran Islam, tekun melaksanakan ibadah, dan rajin mengikuti acara pengajian yang dilaksanakan di masjid Mantingan. Komunitas tersebut merupakan gambaran sejarah, pola tatanan kota muslim yang membentuk perkampungannya sendiri.
Ratu Kalimanyat meninggal dunia sekitar tahun 1579 M dan dimakamkan di dekat makam suaminya yaitu Sultan Kalinyamat di desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara.
Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Raden Abdul Jalil atau juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemah abang, dan Syekh Lemah Abang. Ada yang menyebutkan jika ia lahir di Persia pada tahun 1426 M atau 1346 H dan memiliki nama kecil Abdul Hasan bin Abdul Ibrahim bin Ismail.
Syekh Siti Jenar belajar berbagai ilmu di Baghdad dan Irak dalam waktu cukup lama sehingga ia dapat menguasai berbagai ilmu agama Islam. Ketika di Baghdad, ia lebih tertarik untuk mendalami ilmu Tasawuf sampai berguru pada Syekh Ahmad Baghdadi yang menganut aliran tarekat Akmaliyah. Namun ia juga mempelajari tarekat Syathariyah dari sepupunya sekaligus guru rohaninya.
Kemudian setelah dari Baghdad, ia merantau pergi ke Malaka untuk mengajarkan ilmu yang ia dapat kepada masyarakat di sana. Disitulah ia mendapatkan sebuah gelar Syekh Datuk Abdul Jalil dan Syekh Jabarantas.
Tak lama kemudian ia memutuskan untuk menyebarkan Islam dengan pergi ke pulai Jawa menuju Giri Amparan Jati, dan tinggal dengan sepupunya Syekh Datuk Kahfi. Di daerah inilah ia mendapatkan banyak murid yang berasal dari berbagai golongan bangsawan dan masyarakat umum. Lalu, ia mendirikan sebuah pondok pesantren untuk belajar di Dukuh Lemah Abang, Cirebon dan mendapatkan sebutan Syekh Lemah Abang.
Syekh Siti Jenar berguru kepada Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati, lalu ia mengenal konsep Manunggaling Kawula Gusti. Syekh Siti Jenar kemudian berdakwah ke Jepara dan mendirikan sebuah pondok pesantren.
Syekh Siti Jenar meninggal 1517 Masehi di Demak. Masyarakat Jepara meyakini makam Syekh Siti Jenar berada di masjid Mantingan yang masih berdekatan dengan makam Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat di Desa Mantingan, Kec. Tahunan, Kabupaten Jepara.
Sunan Nyamplungan
Sunan Nyamplungan memiliki nama asli Syekh Amir Hasan, merupakan putra dari Sunan Muria. Gelar Sunan Nyamplungan diperolehnya karena di tempat Syeh Amir Hasan terdapat pohon nyamplungan, sehingga warga Karimun Jawa menyebut Syeh Amir Hasan dengan nama Sunan Nyamplungan.
Sunan Nyamplungan mendapatkan tugas dari pamannya Sunan Kudus untuk berdakwah di Karimun Jawa. Metode dakwah yang digunakannya yaitu damai dan konsisten, sehingga pada abad 15 dan 16 penduduk Karimun Jawa berbondong-bondong dan tertarik untuk masuk Islam. Saat itu wilayah Karimun Jawa memiliki enam suku yaitu suku Bugis, Jawa, Madura, Buton, Bajo, Madan, Mandar.
Dalam memimpin Karimunjaya, Sunan Nyamplungan sangat bijaksana kepada kebijakan yang dibuatnya. Sehingga segala konflik yang muncul antar suku di Karimun Jawa dapat diminimalisir. Salah satu cara yang dilakukannya dalam mempersatukan keenam suku dengan jalan dakwah bil hikmah.
Selain itu, Sunan Nyamplungan merupakan seorang penganut mursyid thoriqoh. Ia pun selalu menggunakan piranti lokal saat berdakwah, misalnya kayu, seperti kayu Stigi, Dewandaru dan Kalimasada yang memiliki filosofi mendalam. Saat ini berbagai jenis kayu tersebut digunakan warga setempat untuk membuat perabotan rumah tangga.
Sunan Nyamplungan wafat di Karimun Jawa Kabupaten Jepara, Jawa Tengah dan dimakamkan di sana.
Itulah beberapa tokoh-tokoh yang mempunyai peran penting dalam menyebarkan agama Islam di Jepara. Segala hambatan yang mereka hadapi dalam berdakwah dapat dijadikan sebuah pembelajaran.
Selain dari keempat nama-nama di atas, masih ada banyak lagi tokoh-tokoh yang turut berjasa dalam penyebaran agama Islam di kota ukir. Bahkan hingga kini, makam dan peninggalan mereka masih dijaga serta diziarahi masyarakat. (Kontributor Uin – Harianmuria.com)