SEMARANG, Harianmuria.com – Tren kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah menunjukkan peningkatan. Sepanjang tahun 2024 hingga pertengahan 2025, Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM) mencatat telah menerima 136 aduan kasus kekerasan yang sebagian besar merupakan kekerasan seksual.
Kepala Operasional LRC-KJHAM, Nihayatul Mukaromah, menyampaikan bahwa bentuk kekerasan yang dilaporkan bervariasi, mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan seksual fisik, pemerkosaan, hingga Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) atau kekerasan berbasis gender online (KBGO).
“50 persen dari aduan yang masuk adalah kekerasan seksual. Namun, proses pelaporan dan penegakan hukum masih menghadapi banyak hambatan,” ujarnya, Senin, 30 Juni 2025.
Sepanjang periode tersebut, LRC-KJHAM telah mendampingi 12 kasus KDRT, 11 kasus pelecehan seksual fisik, 2 kasus pemerkosaan, 2 kasus KBGO/KSBE, dan 2 kasus perdagangan orang (trafficking).
Menurut Nihayatul, banyak kasus sulit dilanjutkan ke ranah hukum karena lemahnya alat bukti dan belum maksimalnya pemahaman aparat terhadap UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan tahun 2022.
“Ada satu kasus kekerasan seksual yang kami dampingi sejak 2022, tapi sampai sekarang belum ada tersangkanya. Padahal alat bukti dan keterangan ahli sudah kami ajukan. Namun polisi belum yakin untuk menetapkan tersangka,” ungkapnya.
Ia menyebutkan aparat hukum masih kerap menggunakan pendekatan hukum lama, seperti KUHAP, alih-alih mengacu pada UU TPKS yang lebih spesifik menangani kasus kekerasan seksual.
“Kalau aparat memahami konteks UU TPKS, tantangan-tantangan korban, dan pentingnya perlindungan terhadap perempuan, seharusnya mereka tidak lagi ragu menentukan apakah ini tindak pidana atau bukan,” tambah Nihayatul.
Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) juga disebut menjadi perhatian khusus. Banyak korban gagal melanjutkan laporan karena tidak memiliki bukti digital yang cukup kuat seperti rekaman, tangkapan layar, atau URL yang valid.
“Bukti elektronik itu mudah hilang. Jika korban tidak menyimpan URL atau tangkapan layar, polisi cenderung menganggap laporannya lemah. Ini jadi tantangan besar,” jelasnya.
Meski banyak kendala, LRC-KJHAM terus melakukan pendampingan hukum dan edukasi masyarakat, khususnya perempuan. Salah satu fokusnya adalah meningkatkan pemahaman akan relasi digital yang sehat, terutama dalam hubungan jarak jauh yang rentan terhadap kekerasan digital.
“Kami ingin perempuan memiliki pemahaman hukum dan kesadaran digital agar bisa melindungi diri dari kekerasan dalam berbagai bentuk,” tutup Nihayatul.
(RIZKY SYAHRUL – Harianmuria.com)