BLORA, Harianmuria.com – Anggota DPRD Kabupaten Blora, Achlif Nugroho Widi Utomo, menyatakan secara pribadi tidak setuju dengan konsep sekolah gratis. Menurutnya, pendidikan berkualitas memang membutuhkan biaya tinggi, dan negara harus hadir sebagai penanggung jawab utama, termasuk dalam pembiayaan sekolah swasta.
“Saya secara pribadi tidak setuju sekolah gratis, bahkan harus berbayar dengan fasilitas yang mahal,” ujarnya, Kamis, 19 Juni 2025.
Achlif menekankan bahwa konstitusi Indonesia mengamanatkan negara untuk hadir dalam dunia pendidikan guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, menurutnya, jika sekolah swasta digratiskan, maka pemerintah wajib mengambil alih peran pembiayaan.
Tanpa intervensi anggaran, sekolah swasta bisa kolaps karena kehilangan sumber biaya. “Kalau kita bicara sekolah swasta digratiskan, negara wajib hadir di situ,” tegasnya.
Menurutnya, kehadiran negara dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan finansial terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah swasta. Negara, kata dia, perlu mengambil alih tanggung jawab pembiayaan agar kualitas pendidikan tidak dikorbankan atas nama ‘gratis’.
“Sekali lagi, tidak ada yang benar-benar gratis. Sekolah itu mahal. Pertanyaannya: siapa yang bertanggung jawab membiayai?” ujarnya.
Pernyataan ini merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Mei 2025 lalu yang mewajibkan pemerintah pusat dan daerah menggratiskan pendidikan dasar di sekolah negeri maupun swasta.
Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 tersebut menyebutkan bahwa satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, harus diselenggarakan secara gratis oleh negara. Putusan ini merupakan hasil uji materi yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia dan tiga ibu rumah tangga: Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Namun menurut Achlif, putusan MK belum menjawab tantangan implementasi di lapangan. Ia menilai MK seharusnya turut mengawal implementasinya, termasuk memberikan dorongan agar pemerintah pusat segera menyusun aturan teknis yang mengikat.
“Bagaimana teknis di lapangan, itu yang belum jelas. Kami di daerah menunggu aturan turunan dari MK yang bersifat mengikat. Sebab pemerintah daerah hanya pelaksana teknis,” tuturnya.
(EKO WICAKSONO – Harianmuria.com)