Harianmuria.com – Psikolog klinis yang tergabung dalam Ikatan Psikolog Klinis Ratih Ibrahim, M.M., Psikolog memberikan kiat agar anak memiliki growth mindset yakni pola pikir memandang keberhasilan atau kesuksesan sebagai hasil dari usaha, dedikasi, dan ketekunan yang berkelanjutan.
Cara ini kata psikolog lulusan Universitas Indonesia itu, bisa dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang sifatnya membangun.
“Alih-alih berkata ‘bisa enggak’, bisa diganti dengan kata ‘belum bisa’, ‘nanti sebentar lagi bisa’,” kata Ratih dalam diskusi pola asuh anak di Jakarta.
Cara berikutnya yakni memberi ruang untuk anak menyelesaikan masalah. Anak sebaiknya jangan dibuat takut tetapi dibantu agar berbesar hati dan mau berusaha menemukan solusi yang kreatif.
Orangtua, imbuh Ratih, perlu juga memiliki growth mindset misalnya dengan mendorong anak agar tidak menyerah. Mereka boleh-boleh saja mendukung anak namun tetap memberi ruang pada mereka untuk mencoba memikirkan alternatif solusi.
Berikutnya, orangtua perlu menjadi contoh atau teladan yang mempunyai sifat empati.
“Sebagai role model utama anak, orangtua perlu mencontohkan perilaku yang mencerminkan growth mindset dalam hidup keseharian, juga terus mendukung dan menstimulasi seluruh aspek perkembangan anak, agar anak tumbuh optimal,” kata dia.
Growth mindset dikatakan menjadi landasan anak agar dapat menguasai delapan winning skills yang dirumuskan bersama para ahli di bidangnya yaitu tim ahli psikolog anak personal growth serta dokter-dokter anak. Kedelapan winning skills ini meliputi perhatian, fokus, daya ingat, kemampuan berbahasa, kemampuan psikomotor, logika, penalaran, dan membuat keputusan.
Menurut Ratih, anak dengan growth mindset akan memungkinkannya untuk memaksimalkan potensi, mengatasi ketakutan dan kegagalan, memperkuat ketahanan mental, ingin terus belajar, dan meningkatkan kepercayaan diri.
Dia menambahkan, orangtua memegang peran penting dalam mengembangkan pola pikir dan menumbuhkan growth mindset pada anak.
Selain memberikan kiat mengajarkan anak memiliki growth mindset, Ratih juga membagikan satu cara menghadapi anak tantrum atau ekspresi frustrasi anak karena ketidakmampuan mereka mengomunikasikan pikiran dan perasaannya, yakni dengan mengajak anak membuat adonan roti.
“Saya ajak yuk bikin adonan roti. Roti kan semakin dibanting semakin pulen. Tonjok saja adonannya, habis itu lega. Sekarang bikin roti untuk pizza, nah itu senang dia (anak) lihat hasilnya,” ujar dia.
Pendiri perusahaan konseling Personal Growth itu mengatakan, cara ini pernah dia praktekkan langsung pada buah hatinya di masa lalu. Kala menghadapi anak khususnya pada usia sudah dapat diajak berbincang yang marah atau kesal, orangtua juga bisa meminta anak mengutarakannya.
“‘Nanti kalau kesel bilang sama mama, nanti kita bisa melakukan sesuatu untuk kamu jadi anak yang asik’. Ini adalah tips yang secara langsung pernah saya lakukan buat anak-anak,” kata Ratih.
Berdasarkan literatur, tantrum biasanya terjadi pada usia pra sekolah yakni 1 – 4 tahun berupa anak mengekspresikan kemarahan seperti dengan berteriak, memukul, menendang, menangis dan berguling-guling.
Kondisi ini, selain merupakan ekspresi frustrasi anak karena ketidakmampuan mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya, bisa juga karena merasa orangtua tidak peduli dengan kebutuhan mereka dan tidak mau mendengarkan dan tidak memahami keinginan mereka. (Lingkar Network | Anta – Harianmuria.com)