SEMARANG, Harianmuria.com – Fakta memilukan terkait nasib Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Jawa Tengah (Jateng) terungkap. Dalam kurun waktu lima tahun (2017-2022), sebanyak 30 PRT di Jateng mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikis. Bahkan, dua di antaranya mengalami cacat permanen akibat tindakan kekerasan dari majikan mereka.
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang mencatat bahwa mayoritas kasus yang terjadi meliputi kekerasan fisik, intimidasi, serta gaji yang tidak dibayarkan oleh majikan.
“Angka ini menjadi bukti nyata bahwa PRT masih belum mendapatkan perlindungan hukum yang layak,” kata Direktur LBH APIK Semarang Raden Rara Ayu Herawati Sasongko, dalam aksi untuk memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional, Sabtu (15/2/2025) di depan Kantor Gubernur Jateng.
Menurutnya, LBH APIK Semarang telah mendokumentasikan berbagai bentuk kekerasan yang dialami para PRT, mulai dari pemukulan, ancaman, pemotongan gaji, hingga pemutusan kerja sepihak tanpa kompensasi. “Dua korban bahkan mengalami cacat seumur hidup dan tidak dapat bekerja kembali,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Koordinator Serikat PRT Merdeka (SPRT) Semarang Nur Khasanah, yang menyoroti kurangnya perlindungan hukum bagi PRT. Ia menilai negara masih belum hadir untuk menjamin hak-hak pekerja rumah tangga, sehingga mereka terus menjadi korban eksploitasi dan diskriminasi.
“Minimnya implementasi regulasi yang sudah ada membuat kondisi PRT semakin rentan. Ketika terjadi kekerasan atau pelanggaran hak, mereka tidak memiliki perlindungan yang cukup kuat,” tuturnya.
Aksi damai peringatan Hari PRT Nasional juga digelar di depan Gedung Berlian DPRD Jawa Tengah. Aksi ini bertujuan mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), yang hingga kini masih mandek.
Berdasarkan data Jaringan Nasional Advokasi PRT (JALA PRT), dari tahun 2018 hingga 2023, tercatat 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT di Indonesia. Bentuk kekerasan yang paling sering terjadi adalah kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi, termasuk pemotongan gaji dan pemecatan sepihak saat PRT mengalami sakit.
Nur Khasanah menambahkan, dalam konteks global, penghormatan terhadap pekerja perawatan (care worker) makin dikampanyekan. Namun, di Indonesia, pekerjaan sebagai PRT masih belum diakui sebagai profesi yang layak. Padahal, pekerjaan ini memakan waktu dan energi yang besar.
“Care work adalah pekerjaan yang sangat melelahkan dan memiliki kontribusi besar bagi perekonomian, tetapi masih belum diapresiasi dengan baik. Inilah sebabnya kami terus mendesak pengesahan RUU PPRT agar para PRT mendapatkan perlindungan hukum yang lebih jelas,” tandasnya.
Para aktivis berharap, dengan adanya payung hukum yang lebih kuat, kasus kekerasan terhadap PRT dapat ditekan dan mereka bisa bekerja dalam kondisi yang lebih aman dan layak.
(RIZKY S – Harianmuria.com)