PATI, Harianmuria.com – Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke-162 yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Pati, Sabtu malam, 21 Juni 2025, mengangkat tema unik dan reflektif: ‘Merayakan Kemiskinan dengan Bahagia’. Budayawan dan penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba’asyin, membedah paradoks kebahagiaan dan kemiskinan di Indonesia.
Mengutip hasil penelitian Universitas Harvard pada Mei 2025, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia. Namun di sisi lain, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa 194,4 juta jiwa atau 68,2 persen warga Indonesia masih tergolong miskin, berdasarkan standar internasional.
“Ini menarik. Di saat kita disebut negara paling bahagia, ternyata kita juga masih dibayangi angka kemiskinan yang tinggi,” ujar Anis.
Anis lantas menyebut ada dua hal yang sebenarnya menjadi berkah bagi bangsa Indonesia. Selain sumber daya alam yang melimpah, rakyat Indonesia secara alamiah juga memiliki jaring sosial dan ikatan keagamaan yang kuat.
“Di desa-desa, orang bisa bahagia meski penghasilan minim. Mereka masih bisa ngopi bersama, tertawa, dan saling berbagi. Ini tak terjadi di negara lain,” ujarnya.
Ia mencontohkan perbedaan dengan masyarakat Jepang yang secara ekonomi lebih mapan, tetapi tingkat stresnya tinggi. “Mereka sulit merealisasikan kemanusiaan secara utuh,” ucap Anis.
Dalam kajiannya, Anis juga mengkritik sistem kapitalisme yang menyamakan kebahagiaan dengan kepemilikan barang. “Kepemilikan berlebih justru tak menambah kebahagiaan. Punya motor pertama menyenangkan, tapi motor keempat? Tidak ada bedanya,” sentilnya.
Anis menekankan bahwa konsep kebahagiaan di Indonesia lebih bersifat kualitatif, tidak melulu soal materi. “Orang bisa menemukan kebahagian tanpa harus lebih dahulu menjadi kaya; kebahagian bahkan bisa diraih ketika masih mereka dalam kategori miski,” tandasnya.
Menurut Anis, budaya guyub rukun dan toleransi antarwarga merupakan anugerah besar yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai ini perlu dijaga dari berbagai upaya perpecahan.
“Belanda dulu menjajah dengan politik pecah belah, dan narasi-narasi itu masih hidup hingga kini. Seperti membenturkan orang Jawa dengan Sunda, atau Islam dengan tradisi lokal,” jelasnya.
Anis juga menegaskan bahwa kohesi sosial bangsa Indonesia sudah ada jauh sebelum kolonialisme. Ia menyinggung peristiwa sejarah seperti ekspedisi Kalinyamat dan perang Pati Unus sebagai bentuk solidaritas dan kesatuan bangsa berbasis nilai keagamaan.
“Perang Diponegoro bukan hanya perang Jawa, tapi juga perang umat. Kita sudah punya semangat persatuan sejak dulu,” tegasnya.
Anis juga mengajak masyarakat agar tidak memaksakan standar Barat pada kehidupan bangsa sendiri. Ia menyindir bagaimana Papua dianggap ‘tertinggal’ oleh dunia modern, padahal belum tentu orang Barat bisa hidup seperti masyarakat Papua.
“Jangan paksa burung tinggal di air, atau ikan hidup di udara. Semua punya kearifan dan kekayaannya masing-masing,” ujarnya.
Dengan kekayaan alam dan sosial yang dimiliki Indonesia, Anis menyebut tugas pemimpin sebenarnya tidaklah berat. “Masyarakat kita sudah bahagia secara kualitatif. Tugas pemimpin hanya tinggal mengelola alam dan menjaga kebersamaan,” tandasnya.
Anis mengingatkan agar masyarakat untuk tak mudah terjebak dalam narasi yang sengaja dibuat untuk mengadu domba. Ia selalu mengajak agar masyarakat menjaga kewaspadaan diri terhadap segala gejolak yang ada.
“Bangsa yang beragama dan paling berbahagia ini bisa carut marut kalau kita mudah diadu domba,” tutupnya.
(LINGKAR NETWORK – Harianmuria.com)