PATI, Harianmuria.com – Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke-161 di Rumah Adab Indonesia Mulia, Pati, pada Sabtu (17/5/2025) mengangkat tema unik ‘Dongeng Peradaban Autoimun’.
Penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba’asyin, mengupas secara mendalam fenomena sosial dalam masyarakat yang dianalogikan dengan penyakit autoimun. Dalam dunia medis, autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi dari serangan virus dan bakteri justru menyerang sel-sel tubuh sendiri.
Anis melihat adanya kemiripan dengan dinamika sosial, di mana mekanisme penolakan terhadap unsur asing dalam masyarakat dapat berbalik menjadi ancaman destruktif.
“Ambil contoh, tentara yang seharusnya menjadi antibodi penjaga masyarakat dari ancaman luar, malah melihat masyarakat sebagai ancaman. Atau penegak hukum yang seharusnya melindungi dari pelanggar hukum, justru menggeneralisasi masyarakat sebagai pelanggar,” ungkapnya.
Begitu pula politisi yang memanipulasi aspirasi rakyat atau ASN yang alih-alih melayani malah merugikan masyarakat. “Jika ini terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan, dampaknya bisa melumpuhkan kehidupan sosial,” sambung Anis.
Selain itu, Anis menyoroti gejala autoimun lain yang muncul secara organik maupun rekayasa, seringkali berakar pada kebencian dan permusuhan antar kelompok. Eskalasi gejala ini dapat memecah belah kohesifitas masyarakat dan memicu konflik horizontal.
“Kekuasaan modern cenderung menciptakan autoimun jenis ini untuk melanggengkan diri. Mereka merekayasa atau memprovokasi konflik laten atau bahkan menanam potensi konflik baru agar masyarakat terpecah belah dan mudah dikuasai,” tandasnya.
Anis mengambil contoh isu nasab dan polarisasi ‘cebong-kampret’ sebagai ilustrasi rekayasa konflik untuk memecah belah masyarakat berdasarkan perbedaan aspirasi politik. Ironisnya, dendam akibat perseteruan semacam ini seringkali diwariskan antargenerasi, yang menurut Anis bagaikan menanam bom waktu bagi masa depan.
Untuk menghindari fenomena autoimun sosial ini, Anis mengutip hadis Nabi yang mengajarkan untuk mencintai dan membenci secara proporsional.
“Ada hadis menarik, mencintailah secukupnya dan membencilah secukupnya. Jangan terlalu mencintai, karena siapa tahu yang kamu cintai suatu saat menjadi musuhmu. Jangan pula terlalu membenci, karena mungkin yang kamu benci suatu saat bisa jadi sahabatmu,” katanya.
Dalam perspektif Islam, cinta dan benci harus berlandaskan karena Allah sebagai pusat yang menghubungkan antar makhluk. Tanpa landasan ini, baik cinta maupun benci dapat menjadi destruktif karena setiap manusia memiliki kekurangan.
Anis juga mengkritik penggunaan istilah ‘muhibbin’ yang dianggapnya sebagai adopsi konsep ‘fans’ dari dunia selebritas modern. Menurutnya, Islam mengajarkan saling menyayangi secara dua arah, bukan pemujaan fanatik satu arah yang bisa berujung pada ‘thogut’ atau pengkultusan berlebihan.
Pentingnya berkumpul dengan orang saleh juga ditekankan oleh Anis. Baginya, ‘saleh’ adalah kondisi dinamis seseorang yang terus berusaha menjadi lebih baik, bukan sekadar rutinitas ibadah formal.
Saling mencintai dan menyayangi dipandang sebagai metode interpersonal terbaik untuk mencegah autoimun sosial. Sementara dalam tatanan masyarakat, dibutuhkan sosok-sosok terpercaya yang bebas dari kepentingan duniawi untuk membimbing dan menjadi ‘antibodi sosial’.
Celakanya, menurut Anis, sosok-sosok inilah yang seringkali menjadi sasaran pembunuhan karakter dalam proses menuju autoimun sosial.
Di akhir diskusi, Anis menyoroti paradoks Indonesia sebagai negara miskin tapi bahagia. Hal ini disebabkan oleh kuatnya interaksi dan gotong royong di masyarakat. Ia berharap nilai-nilai luhur bangsa ini tidak terkikis oleh budaya luar yang merusak.
(NAILIN RA – Harianmuria.com)