Harianmuria.com – Menjalani kehidupan di dunia ini, manusia seringkali dihadapkan dengan peristiwa atau kejadian yang mengagumkan, begitu juga sebaliknya. Saat menghadapi salah satu dari peristiwa itu, tak jarang seorang muslim mengucapkan kalimat suci, seperti Subhanallah maupun Masya Allah.
Akan tetapi, seringkali seorang muslim tidak menyadari bahwa dirinya tidak menempatkan kedua ungkapan tersebut pada kejadian yang tepat. Tidak jarang pula yang bahkan keliru memahami, untuk apa seharusnya ungkapan-ungkapan tersebut diucapkan.
Sebelum mengetahui perbedaanya, perlu diketahui arti dari Subhanallah dan Masya Allah. Mengutip dari Katadata.id, asal usul frasa Masya Allah diartikan dengan dua arti.
Pertama, kata maa dari maa sya Allah dijabarkan sebagai kata sambung sebagai predikat. Sementara subjeknya (mubtada’) dari kata ini disembunyikan, yaitu hadzaa. Sehingga bentuk seutuhnya kalimat ini adalah hadza maa syaa Allah yang berarti inilah yang dikehendaki Allah.
Kedua, kata maa dari maa sya Allah adalah benda yang mengidentifikasikan sebab dan frasa dari syaa Allah statusnya sebagai fi’il syarath (kata benda yang mengindikasikan sebab). Sedangkan jawab syarath (kata benda yang megidentifikasikan akibat dari sebab) dari kalimat masya Allah, yaitu kaana. Sehingga, bentuk lengkapnya adalah maa syaa Allahu kaana yang artinya apa yang dikehendaki oleh Allah maka itulah yang akan terjadi.
Ungkapan rasa kekaguman atas ciptaan Allah SWT yang diwakili dalam ungkapan masya Allah ini disebutkan dalam QS Al Kahfi ayat 39.
وَلَوْلَآ اِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۙ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللّٰهِ ۚاِنْ تَرَنِ اَنَا۠ اَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَّوَلَدًا
Artinya: Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan “Masya Allah, la quwwata illa billah” (sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud), tidak ada ketakutan kecuali dengan (pertolongan) Allah, sekalipun engkau anggap harta dan keturunanku lebih sedikit daripadamu.
Lain halnya dengan kata Subhanallah, ungkapan ini dikatakan saat menemui kejelakan atau hal buruk yang tidak patut untuk dilihat maupun didengar. Sebab, makna dari kata ini adalah Allah maha suci dari keburukan tersebut.
Diriwayatkan dari shahabat Nabi Muhammad SAW, Abu Hurairah, ia berkata: “Suatu hari aku berjunub dan aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama para shahabat. Lalu aku menjauhi mereka dan pulang untuk mandi junub. Setelah itu aku datang menemui Rasulullah SAW. Beliau bersabda: Wahai Abu Hurairah, mengapa engkau malah pergi ketika kami muncul? Aku menjawab: Wahai Rasulullah aku kotor (dalam keadaan junub) dan aku tidak nyaman untuk bertemu kalian dalam keadaan junub. Rasulullah SAW bersabda: Subhanallah, sesunggunya mukmin tidak najis,” (HR Tirmidzi).
Dengan demikian, setelah mengetahui perbedaan tersebut, sudah sepantasnya setiap muslim untuk menerapkannya. Sehingga, tidak ada kekeliruan lagi untuk menggunakan ungkapan Masya Allah atau Subhanallah.(Lingkar Network | Harianmuria.com)