Harianmuria.com – Selain keberadaan makam dua Walisongo yang sangat dihormati, juga adanya ratusan pondok pesantren, menjadikan wilayah ini dikenal dengan sebutan kota santri. Pernah menjadi pusat penyebaran Islam pada zamannya, Kudus pun melahirkan ulama-ulama kharismatik sebagai penerus perjuangan dakwah Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Siapa sajakan ulama kharismatik yang dalam penyebaran ajaran Islam di Kudus? Simak ulasannya berikut ini.
KH Raden Asnawi
KH Raden Asnawi memiliki nama kecil Raden Ahmad Syamsi lahir di Kudus pada 1861 Masehi. Ia merupakan putra dari H. Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah.
Raden Asnawi Syamsi termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan kelima dari Kiai Haji Mutamakin seorang wali di Desa Kajen, Margoyoso Pati yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.
Dalam berdakwah, Raden Asnawi melakukan interaksi langsung dengan komunitas muslim Kudus. Raden Asnawi mempelopori adanya tradisi pengajian Islam yang terkenal dengan nama Pengajian Pitulasan yang digelar digelar secara khusus, yakni setiap hari ke tujuh setiap bulan kalender Hijriah di Menara Kudus.
Ulama kharismatik pendiri organisasi Nahdlatu Ulama (NU) ini juga dikenal memiliki karomah. Dalam suatu riwayat diceritakan, pendiri Madrasah Qudsiyyah ini pernah membuat takut dan gentar para penjajah Belanda. Saat itu, Raden Asnawi dianggap sebagai penggerak kerusuhan untuk membangkang pemerintahan kolonial Belanda, sehingga ia di sempat dimasukkan ke penjara.
Raden Asnawi wafat pada hari Sabtu Kliwon tanggal 26 Desember 1959 M pada usia 98 tahun dan dimakamkan di di kompleks Makam Masjid Menara Kudus di jalan Menara, Pejaten, Desa Kauman, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Kyai Haji Muhammad Arwani Amin Kudus
Kyai Haji Muhammad Arwani Kudus lahir pada tanggal 5 September 1905 atau 5 Rajab 1323 H di Madureksan, Kerjasan. Ia dikenal dengan sebutan Mbah Arwani, yang merupakan guru para ulama dan penghafal Al Qur’an tersebar di Indonesia.
Mbah Arwani mengajarkan Al Qur’an pertama kali di Masjid Kenepan Kudus, pada saat itu ia menyelesaikan pendidikan nyantri di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Saat itu, kebanyakan santrinya berasal dari luar kota Kudus. Seiring berjalannya waktu, banyak santrinya yang mulai berdatangan dari luar provinsi, luar pulau Jawa, bahkan saat ini ada yang berasal dari luar negeri seperti Brunei Darussalam dan Malaysia.
Pada tahun 1979 Masehi, mbah Arwani mendirikan pesantren yang diberi nama Yanbu’ul Qur’an yang berarti Sumber al-Qur’an. Ponpes tersebut meruapakan pondok huffadz terbesar yang ada di kota Kudus. Di pondok pesantren itulah para santri menimba ilmu Qira’at Sab’ah.
KH M Arwani Amin Sa’id juga dikenal masyarakat sebagai seorang ulama yang memiliki kelebihan luar biasa. Banyak yang mengatakan bahwa KH Arwani Amin adalah seorang wali. Beberapa santrinya mengatakan bahwa KH Arwani Amin memiliki indra keenam dan dapat mengetahui apa yang akan terjadi dan melihat apa yang tidak terlihat.
Selain itu, Mbah Arwani terkenal jenius, karena sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan inilah yang menggugah para murid-murid nya lebih tekun belajar.
Mbah Arwani wafat pada tanggal 1 Oktober tahun 1994 M pada usia 92 tahun (dalam hitungan Hijriyah). Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus.
KH Ahmad Basyir
KH Ahmad Basyir lahir 30 November 1924 Masehi di Jekulo, Kudus. Ia merupakan putra dari Kyai Mubindan dan Nyai Dasirah. Semasa mudanya sekitar tahun 1944-1945, KH Ahmad Basyir muda bergabung di Badan Perjuangan Republik Indonesia (BPRI). Namun setelah menjadi aktivis dan mengembara ilmu ke berbagai Kiai, ia memutuskan untuk kembali ke Jekulo pada tahun 1949 dan mengabdi pada K.H. Yasin. Dari sanalah KH Ahmad Basyir mendapatkan ijazah Dalail al-Khoirat beserta hizib-nya atas ketekunannya menjalankan ritual riyadhah.
Pada tahun 1969, Kiai Basyir mendirikan Madrasah Diniyah Nurul Ulum Jekulo Kudus. Lalu ia mewakafkan sebuah bangunan kuno di sebelah utara masjid Kauman. Pada tahun 1970 bangunan tersebut dijadikan sebuah pondok pesantren.
Kiai Basyir merupakan seorang ulama yang mentradisikan riyadhoh (laku prihatin) sejak masih berusia muda. Tradisi itu masih beliau pegangi hingga usia 88 tahun. Ia juga memegang falsafah ilmu dan memiliki prinsip jika ingin sebuah ilmu itu bermanfaat maka harus diamlakan walau hanya satu kali.
Banyak hal yang dapat diteladani dari Kiai Basyir, yaitu kegigihannya dalam menuntut ilmu, kreatifitas hidup, perjuangan hingga akhlaqul karimah yang menjadi tempat para santri dan masyarakat berkiblat.
Kiai Basyir wafat pada 18 Maret 2014 Masehi dan dimakamkan di kompleks pemakaman sekitar Pondok Pesantren Darul Falah Jekulo Kudus, Jawa Tengah
KH Sanusi Ali
KH Sanusi Ali atau yang lebih dikenal dengan Mbah Sanusi Ali berasal dari desa Jekulo, Kudus. Ia merupakan sosok waliyullah yang sangat luar biasa, bahkan ada yang mengatakan keramatnya mirip dengan ulama besar Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Dalam menyebarkan ajaran Islam, Mbah Sanusi Ali lebih senang melayani dan terjun langsung ke masyarakat daripada mendirikan sebuah pesantren. Mbah Sanusi sering melakukan riyadlah dengan bertapa di puncak Argo Jimbangan, salah satu puncak di Gunung Muria selama 40 hari.
Dalam catatan sejarah, konon pada saat itu ada seorang saudagar Kudus tengah dihadang oleh para perampok di tengah jalan. Lalu saudagar tersebut berkali-kali menyebut nama Mbah Sanusi dan tiba-tiba tanpa disangka Mbah Sanusi datang kemudian nmenolongnya.
Selain itu, Mbah Sanusi juga dikenal mampu menaklukkan macan yang beringas dan menjadikannya pendamping khususnya saat melakukan tapa brata. Konon katanya, macan itulah yang selalu membawakan bumbung air untuk berwudhu untuk Mbah Sanusi menjalankan sholat lima waktu.
Ada sebuah riwayat mengatakan, Mbah Sanusi pernah suatu hari pergi ke sebelah barat daya kota Jogyakarta, daerah Laut Selatan. Di laut tersebut, konon terdapat Masjid Nabi Khidlir as yang dapat dilihat oleh Mbah Sanusi. Namun ketika Mbah Sanusi memasuki masjid tersebut, seketika bangunannya tenggelam ke dasar laut. Namun saat keluar dari masjid, tubuhnya sama sekali tidak basah.
Setelah kejadian itu, ia mendapat karomah dari Allah berupa sebuah Kembang Jaya Sampurna yang berbentuk kayu. Katanya, barang siapa memiliki pusaka itu, oramng tersebut akan memiliki kedudukan sebagaimana para ratu. Sehingga pada saat itu, apabila ada Bupati Kudus yang sedang jatuh sakit, abdi dalemnya akan diperintahkan untuk meminta obat kepada Mbah Sanusi. Lalu Bupati tersebut diberi satu keping uang godem oleh Mbah Sanusi untuk direndam didalam air lalu diminum.
Mbah Sanusi wafat dan dimakamkan di dimakamkan di desa Kauman, Jekulo, kec. Jekulo, Kudus.
KH Yasin
KH Yasin memiliki nama asli Sukandar berasal dari Desa Cebolek (Kajen), KecamatanMargoyoso, Pati. Nama Yasin diperolehnya ketika ia telah menunaikan ibadah haji. KH Yasin merupakan putra dari H Amin dan Salamah.
Saat masih remaja, ia menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren. Yakni pesantren Sidogiri, pesantren Pekalongan, dan Bangkalan Madura yang pada saat itu pengasuhnya adalah Mbah Kholil, seorang ahli nahwu.
Pada tahun 1918, Mbah Yasin mendirikan sebuah pondok pesantren Bareng (Al Qaumaniyyah) yang berada di wilayah Jekulo. Latar belakang, ia mendirikan ponpes tersebuta karena banyaknya anak-anak yang ingin menunut ilmu agama dirumahnya dan atas saran dari sang guru, Mbah Sanusi.
Karena saat itu belum banyak santri, maka baru pada 1923 pondok tersebut baru diresmikan dan diberi nama ponpes Al Qaumaniyyah. Dalam catatan sejarah, Al Qaumaniyyah merupakan nama untuk memudahkan pembaca. Pada masa Mbah Yasin,pesantren ini belum dinamai, namun para santri pada saat itu menyebutnya pondok Mbareng. Sebab secara historis pondok Mbareng ini dulu belum terlalu dijangkau kendaraan umum, sehingga jika ada yang ingin ke sana cukup menyebut pondok Mbareng.
Mbah Yasin wafat pada hari Rabu Pon tanggal 30 Desember 1953 Masehi dan dimakamkan di desa Kauman, Jekulo, kec. Jekulo, Kudus.
Demikian nama-nama ulama kharismatik yang menyebarkan ajaran Islam pasca Walisongo di kota Kudus. Dan tentunya masih ada banyak tokoh-tokoh keagamaan di Kudus yang ikut berperan dalam memperjuangkan dakwah Islam sampai sekarang. (Kontributor Uin – Harianmuria.com)