JAKARTA, Harianmuria.com – Kebijakan efisiensi anggaran sebesar Rp256,1 triliun oleh Kementerian Keuangan untuk belanja kementerian/lembaga (K/L) tahun anggaran 2025 tidak hanya berdampak pada layanan pemerintahan, tetapi juga memberi pukulan keras terhadap industri media massa nasional.
Pemangkasan anggaran ini makin menekan kondisi keuangan perusahaan pers yang tengah berjuang menghadapi berbagai tantangan, mulai dari disrupsi teknologi, persaingan platform digital, hingga penurunan belanja iklan pemerintah.
Wakil Ketua Dewan Pers 2025–2028, Totok Suryanto, mengingatkan bahwa efisiensi anggaran negara seharusnya tidak dimaknai sebagai pemangkasan yang membahayakan eksistensi pers nasional. Ia menyebut, bahkan Dewan Pers pun ikut terdampak oleh kebijakan efisiensi ini.
“Negara punya kewajiban menjaga keberlangsungan pers. Kalau pers mati, siapa yang akan menjaga validitas di tengah kekacauan informasi?” kata Totok di sela Munas II Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) di Jakarta, Sabtu malam, 21 Juni 2025.
Pemda Bisa Jadi Penopang Pers Daerah
Meski anggaran iklan dari pemerintah pusat dipangkas, Totok melihat peluang dari pemerintah daerah. Menurutnya, Pemda memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk turut menjaga media lokal.
“Kalau Pemda bisa mengalokasikan anggaran dan menjalin kerja sama dengan media setempat, itu sangat membantu kelangsungan hidup media di daerah,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa media lokal memiliki fungsi strategis dalam mengawal kinerja kepala daerah, terutama pasca-pilkada.
“Setelah kepala daerah terpilih, mereka punya utang kepada rakyat: menyejahterakan. Media menjembatani itu dengan menyampaikan aspirasi publik dan memberi masukan. Ini fungsi penting dalam demokrasi,” terang Totok.
Media Sosial Tidak Bisa Gantikan Fungsi Pers
Kondisi industri media yang kian tertekan, kata Totok, memaksa banyak perusahaan pers gulung tikar dan dan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Informasi publik pun didominasi media sosial (medsos) yang belum tentu kredibel
Totok mengingatkan bahwa medsos tidak bisa tidak bisa mengambil alih fungsi jurnalisme profesional. “Apakah medsos bisa dipercaya sepenuhnya? Banyak yang isinya tidak bisa diverifikasi. Di sinilah peran penting media mainstream dalam menjaga demokrasi dan ketenangan masyarakat,” tandasnya.
Ancaman Media Bodong Tanpa Legalitas
Totok juga menyoroti fenomena menjamurnya media tanpa legalitas alias media bodong. Media ini beroperasi tanpa badan hukum yang jelas, tidak terdaftar di Dewan Pers, dan kerap mengabaikan kode etik jurnalistik.
“Jumlahnya banyak. Tidak punya struktur redaksi yang jelas, tidak ikut Uji Kompetensi Wartawan (UKW), dan pengelolaannya tidak profesional. Lalu informasi yang mereka sebarkan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Masa mau dipercaya?” ungkapnya.
Ia menekankan pentingnya literasi media agar masyarakat lebih cermat dan kritis dalam memilih sumber informasi yang benar dan bertanggung jawab.
“Pasal 28 UUD 1945 memang tidak melarang siapa pun memberi informasi. Namun kalau pemberi informasi tidak punya kapasitas, tidak tunduk pada aturan profesional, ya jangan dipercaya,” tegasnya.
Totok menyebut, saat ini lebih dari 1.800 media telah terverifikasi oleh Dewan Pers, dan masyarakat diminta aktif mengecek keabsahan media yang dikonsumsi. “Kalau mau tahu mana media yang resmi, cek saja di laman web Dewan Pers,” tuturnya.
Negara Harus Lindungi Pers Nasional
Mengakhiri pernyataannya, Totok meminta agar pemerintah tidak abai terhadap kondisi ini. Negara harus segera bertindak dengan memberikan perlindungan dan payung hukum yang kuat bagi keberlangsungan media nasional.
“Kalau dibiarkan begini terus, media kita bisa habis. Padahal media adalah pilar penting dalam menjaga demokrasi yang sehat,” pungkasnya.
(CEPPY BACHTIAR – Harianmuria.com)