Harianmuria.com – Jagat maya sempat dihebohkan dengan pemberitaan yang mengungkap hubungan kelewat batas antara menantu dan mertua. Hal ini pun menjadi perhatian banyak pihak, terlebih agama dari pelaku sendiri merupakan umat Islam. Lantas seperti apakah hubungan menantu dan mertua dalam kajian fiqih?
Agama Islam sendiri sudah menerangkan dengan jelas hubungan antara menantu dan mertua. Allah SWT berfirman dalam QS Al Furqan ayat 54 yang berbunyi,
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْماءِ بَشَراً فَجَعَلَهُ نَسَباً وَصِهْراً وَكانَ رَبُّكَ قَدِيراً
Artinya: “Dialah (Allah) yang menciptakan manusia dari air (mani). Lalu, Dia menjadikannya mempunyai nasab (hubungan darah) dan shihr (hubungan perkawinan),”
Sehingga kasus yang mencuat saat ini seharusnya tidak terjadi apabila umat muslim memahami hakikat dari hubungan mertua dan menantu.
Mengutip dari NU Online, dalam Tafsir al-Mawardi dijelaskan asal dari kata shihr sendiri adalah ‘percampuran’. Atau dengan kata lain perkawaninan terjadi karena adanya percampuran antara laki-laki dan perempuan sekaligus menciptakan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya.
Sedangkan menurut Ibnu Qutaibah, shihr juga diartikan kerabat yang terjadi karena perkawinan. Kemudian nasab bermakna kerabat karena ada hubungan darah atau keturunan. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Kalabi, nasab merupakan orang-orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan kerabat, sedang shihr adalah orang-orang yang haram dikawin karena kerabat maupun tidak.
Sehingga dari shihr ini lahir dua bentuk maharam, yaitu muabbad (permanen) dan muaqqat (sementara). Apabila dijabarkan, mahram muabbad meliputi ibu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu tiri. Lalu mahram muaqqat terdiri dari saudara perempuan dan bibi dari perempuan yang dinikahi, yaitu ipar dan bibinya.
Terkhusus pada status mahram muabbad antara menantu dan mertua ini sendiri, menurut al-Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhadzab mulai berlaku setelah pengucapan ijab qabul meskipun belum sampai melakukan hubungan badan dengan istri sah.
Adapun konsekuensi yang ditimbulkan dari mahram muabbad ini adalah mahram selamanya. Sehingga, meskipun menantu tersebut telah bercerai dengan istrinya baik talak maupun meninggal, ia tetap haram untuk menikahi mertuanya selamanya. Dengan kata lain, mahram muabbad ini menunjukkan bawah status mertua itu tidak ada bekasnya.
Hal ini dijelaskan pula dalam QS An Nisa ayat 23, Allah SWT berfirman,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهاتُكُمْ وَبَناتُكُمْ وَأَخَواتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخالاتُكُمْ وَبَناتُ الْأَخِ وَبَناتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَواتُكُمْ مِنَ الرَّضاعَةِ وَأُمَّهاتُ نِسائِكُمْ وَرَبائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كانَ غَفُوراً رَحِيماً
Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”
Sebab dalam syariat diajarkan, seorang laki-laki yang menjalin kedekatan dengan ibu mertuanya selayaknya sikap, perlakuan, dan penghormatan yang dibangun dengan ibu kandungnya sendiri.
Maka apabila menantu tersebut tanpa sengaja tersentuh kulitnya oleh ibu mertua, wudhunya tidak akan batal. Bahkan batasan aurat ibu mertua pun menjadi lebih longgar layaknya anak perempuan berada di depan mahramnya, yaitu antara pusar dan lutut selama terhindar dari fitnah.
Namun, dosa yang dihasilkan dari hubungan kelewat batas ini amat berat. Kendati demikian, syariat telah menetapkan tiga cara menebus kesalahan atau menghapus dosa (kafarat). Yakni dengan memerdekakan budak, atau berpuasa, atau besedekah. Terlebih meminta ampunan dan melakukan taubat setulus-tulusnya kepada Allah SWT. (Lingkar Network | Harianmuria.com)