Harianmuria.com – Kemajuan teknologi yang semakin canggih, membuat manusia terus mencoba berbagai alternatif dalam melakukan aktivitas, tidak terkecuali dengan ibadah haji. Terlebih semenjak adanya pandemi Covid-19 berbagai kegiatan fisik dialihkan menjadi jarak jauh atau virtual.
Memanfaatkan keberadaan Realitas Virtual (VR), kini umat muslim dapat merasakan teknologi “Virtual Black Stone Initiative”ata u yang sering disebu dengan Haji Metaverse. Penemuan ini memungkinkan umat islam dapat menyentuh Hajar Aswad tanpa meninggalkan rumah. Namun langkah ini ditentang dengan karena tidak memenuhi syarat sah.
Lalu, bagaimana para ulama dunia menanggapi teknologi ini?
Dikutip dari Middle East Eye, Imam Masjidil Haram, Sheikh Abdul Rahman Al-Sudais adalah orang pertama yang menggunakan teknologi canggih ini. Ia mengatakan, “Arab Saudi mamiliki situs keagamaan dan sejarah besar yang harus digitalisasi dan dikomunikasikan kepada semua orang melalui sarana teknologi baru,” ucapnya.
Akan tetapi, wacana ini ditentang keras oleh Direktur Departemen Layanan Haji dan Umroh negara Turki, Dinayet Remzi Bircan. Dilansir dari situs bpkh.go.id, mengatakan jika ibadah haji yang dilaksanakan secara virtual hukumnya tidak sah dan tidak dianggap sebagai suatu ibadah. “Ibadah haji harus dilakukan dengan pergi ke kota suci dalam kehidupan nyata. Adapun versi metaverse Ka’bah mejadi kontroversial di kalangan muslim di seluruh dunia,” kata Dinayet.
Begitupun dengan Syekh Ibrahim Al-baijuri yang tidak sependapat dengan teknologi ini. Ia mengatakan bahwa syarat utama haji adalah wukuf yang harus dilakukan ditanah Arafah. Apabila wukuf di atas tanah (udara) saja hajinya dianggap tidak sah, apalagi yang hanya dilakukan secara virtual. Dengan demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa Haji Metaverse ini dianggap tidak sah dan tidak dapat dijadikan pengganti dalam melaksanakan ibadah haji secara langsung.
Di sisi lain, menurut Ahmad Khalwani yang menuliskan tentang Haji dengan Teknologi Metaverse mengangapp jika teknologi ini dapat dimanfatkan untuk pelaksanaan manasik haji. Seperti diketahui bahwa pelaksanaan manasik haji tidak perlu dilakukan di tanah suci karena hanya sebatas latihan sebagaimana caranya melaksanakan ibadah haji dengan baik dan benar. “Teknologi Metaverse ini sangat tepat digunakan untuk manasik haji, karena dengan teknologi ini, orang yang manasik akan mengalami secara langsung bagaimana ibadah haji yang sesungguhnya secara virtual. Dimulai cara melempar jumrah, memahami lokasi dan lain sebagainya,” tulisnya.
Lalu Bagaimana Pandangan Majlis Ulama Indonesia?
Senada dengan apa yang diutarakan oleh ulama di seluruh dunia. Ulama-ulama yang ada di Indonesia pun kurang setuju jika pelaksanaan ibadah haji dilakukan secara virtual atau Haji Metaverse. Mereka lebih setuju jika penggunaan teknologi VR untuk manasik haji.
Ketua bidang Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh pun sependapat jika pelaksanan Haji Metaverse ini tidak bisa menggantikan ibadah haji secara sah. Penggunaan teknologi VR ini pun lebih cocok digunakan untuk manasik haji. Vitur yang terdalam didalam teknologi VR ini pun dapat membantu jamaah dalam mengenali tempat pelaksanaan ibadah haji secara virtual.
“Terkait pelaksanaan ibadah haji dengan mengunjungi Ka’bah secara virtual tidak cukup karena itu tidak memenuhi syarat ibadah haji,” kata Asrorun dikutip dari Republika.com. Lebih lanjut ia mengatakan jika haji merupakan ibadah mahdlah yang bersifat tauqify, artinya tata cara pelaksanaanya sudah ditentukan serta membutuhkan ritual langsung.
Salah satu pelksanaan haji yang harus dilakukan secara langsung di tempat adalah sujud di Hajar Aswad. Ada juga tawaf yang tata caranya mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran. “Haji itu merupakan ibadah mahdlah dan bersifat dogmatik yang tata cara pelaksanaanya atas dasar apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad,” tambahnya.
Sedangkan Sekertaris Jendral (Sekjen) MUI, Amirsyah Tambunan juga sependapat jika Haji Metaverse tidak sah untuk dilaksanakan. Meski penggunaan platform digital tersebut tidak hanya sebatas tampilan visual dua bahkan tiga dimensi, hal tersebut tetap tidak mampu menggantikan pelaksanaan haji secara langsung.
“Boleh menggunakan teknologi metaverse dalam bentuk pembelajaran, peningkatan keterampilan menggunakan teknologi,” kata Sekjen MUI yang juga mantan Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 2002-2006 saat menjadi pembicara pada Webinar Nasional bertajuk “Beragama di Era Metaverse”.
Selain daripada pendapat para ulama di aats, haji metaverse tidak memiliki dalil yang jelas. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Komisi Pengkajian Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin. “Identitas virtual yang masuk, bukan identitas nyata,” ucapnya dilansir dari Timesindonesia.
Metaverse dianggap oleh guru besar UIN Jember ini sebagai bagian dari internet realitas virtual bersama yang dibuat semirip mungkin dengan dunia nyata. “Metaverse adalah virtual yang dapat diciptakan dan dijelajahi dengan pengguna lain tanpa bertemu di ruang yang sama,” tambahnya.
Dari sekian banyaknya pendapat para ulama di seluruh dunia, mereka sependapat jika pelaksanaan ibadah haji dengan haji metaverse tidak diperkenankan. Ibadah merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh tanpa perantara, termasuk ibadah haji. Sehingga, penggunaan teknologi dalam haji metaverse hanya bisa digunakan dalam kegiatan manasik haji untuk memberikan gambaran nyata plekasnaan haji. (Arif Febriyanto| Harianmuria.com)