JEPARA, Harianmuria.com – Problematika Kemiskinan Ekstrem sebagai faktor pemicu Anak Tidak Sekolah (ATS) dan stunting tengah menjadi perhatian pemerintah, tak terkecuali DPRD Kabupaten Jepara.
Hal itu lantas menjadi tema dialog Tamansari Menyapa bersama Wakil Ketua DPRD Jepara Junarso dan Pratikno di Radio R-Lisa Jepara bebrapa waktu lalu.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Jepara, Junarso mengatakan berdasarkan data SSGI saat ini, angka stunting Jepara turun sebesar 6,8 persen yang semula 25 persen pada 2021 menjadi 18,2 persen pasar 2022. Sehingga masih kurang 4,2 persen lagi, untuk mencapai target minimal pada 2024 nanti.
“Saya berharap sinergi dan kolabosari pentahelix (akademisi, swasta, masyarakat, pemerintah, dan media) antar sektor, baik sektor kesehatan maupun non kesehatan, makin kuat,” kata Junarso.
Selain stunting, jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Kabupaten Jepara masih banyak sekitar 5.230 anak per 1 April 2023. Data itu bersumber dari Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian dan Kebudayaan.
“Tercatat 1.878 di antaranya disebabkan putus sekolah (droup out), sedangkan 3.352 lainnya kategori lulus tidak melanjutkan,” ungkapnya.
Junarso menjelaskan, anak putus sekolah ini menjadi perhatian pemerintah sebab di masa dewasa, mereka akan kesulitan untuk meniti karier sebab harus bersaing dengan yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi.
Disamping itu, menurutnya pemerintah juga harus terus memunculkan progam dan kebijakan kesejahteraan serta pemberdayaan lansia. Sebab lansia masih memberi sumbangsih guna kemajuan bangsa.
“Menjadikan lansia berdaya dan sejahtera bukan hanya tugas dan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan sebagai tanggung jawab berbagai pihak,” ujarnya.
Sementara Wakil Ketua DPRD Kabupaten Jepara, Pratikno menjelaskan stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita bayi yang dibawah lima tahun karena kekurangan gizi. Maka untuk menurunkan angka stunting, perlu memantau gizi dan kesehatan anak balita pada masa-masa kritis seperti waktu dalam kandungan atau 9 bulan.
“Perhatian orang tua harus benar-benar ekstra dari asupan makanan, susu, dan gizi agar nantinya anak terhindar dari stunting,” katanya.
Sosialisasi juga dirasa perlu untuk memberi pengetahuan terhadap orang tua agar nantinya mereka tahu kadar asupan nutrisi dan gizi terhadap anak.
Mengenai ATS, Pratikno menyebut ada banyak faktor. Mulai dari masalah ekonami, faktor keluarga tidak harmonis, social, hingga kesehatan.
“Bisa jadi faktor pemicu anak tidak sekolah adalah foktor ekonomi keluarga,” tambahnya.
Maka dari itu, Pratikno menyebut bahwa solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut yakni dengan mengupayakan biaya pendidikan murah, sehingga semua golongan mampu menikmati sekolah.
Diketahui, angka kemiskinan di Indonesia pada data Kemenkeu 2022 tercatat mencapai 9,57 persen atau sekitar 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut terbilang cukup besar untuk kemiskinan ekstrem.
“Sinergitas progam lintas sektoral harus dijalankan, untuk menekan angka kemiskinan ekstrem yang ada,” tegasnya. (Lingkar Network | Tomi Budianto – Harianmuria.com)