PATI, Harianmuria.com – Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pati, Edy Martanto mengungkapkan, pihaknya mencatat sebanyak 70 persen kapal besar di wilayah Juwana hingga saat ini belum melakukan aktivitas melaut. Padahal, diperkirakan sejak lebaran Idul Fitri kapal-kapal besar tersebut bersandar di Pelabuhan Juwana. Hal tersebut terjadi karena salah satu sebab yaitu melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang saat ini mencapai Rp17.000 per liter.
“Saya selalu komunikasi dengan para nelayan, ada grupnya. Baru 20 hingga 30 persen kapal besar Juwana yang melaut. Kondisi ini sudah berbulan-bulan. Ini karena harga BBM tinggi. Bisa mencapai Rp15.000 ke atas yang harga sebelumnya Rp9.000. Kalau bio solar saja Rp5.000-an, ini belum ada,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya baru-baru ini.
Ia menyampaikan, bahwa nelayan di Kabupaten Pati ini sebenarnya belum memenuhi skala industri. Jadi, menurutnya tidak adil jika tarif harga BBM solar disamakan dengan skala industri yakni Rp17.000 per liter.
Ribuan Nelayan Demo PNBP, Bupati Pati Tak Tampak
Edi mengaku, telah melakukan usulan pertimbangan mengenai harga BBM solar tersebut. Pihaknya pun mengklaim sudah bersurat ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Rp15.000-an ke atas ini untuk harga BBM skala industri. Sedangkan di Pati ini tak 100 persen skala industri. Bisa dibilang kelasnya medium atau menengah untuk kapal besar atau pursein. Paling tidak harganya di bawah itu. Kami selalu bersurat ke KKP soal harga BBM ini. Akan tetapi belum ada respon. Masih ramai ini di kalangan nelayan,” tuturnya.
Disisi lain, Ketua Barisan Muda Nelayan Juwana, Mukit, mengeluhkan harga solar yang melambung tinggi. Menurutnya, biasanya para nelayan dapat membeli solar dari distributor dengan harga miring yakni tak sampai Rp15.000 ke atas.
Nelayan Rembang Keluhkan Kendala Mengurus SIUP
Ia juga menyatakan, jika biasanya per kapal cantrang yang melaut bisa menghabiskan 8 kiloliter (kl) solar. Sementara, untuk jenis kapal pursein menghabiskan ribuan drim atau sekitar 20 kilo liter (kl) solar. Selain pengaruh solar, banyak kapal yang memutuskan enggan untuk berangkat melaut juga karena tak sebanding dengan hasil tangkapan.
“Kalau di Pertamina dulu Rp9.000. Di distributor bisa di bawah itu. Saat ini di Pertamina harga solar bisa diatas Rp16.000. Kalau ke Papua bisa menghabiskan 140 kl. Ada juga kapal yang berangkat melaut. Tapi itu hanya sisa solar kemarin yang digunakan. Banyak kapal yang tak berangkat ini. Ini gara-gara BBM mahal dan hasil tangkapan ikan tak cocok,” jelasnya.
Dilain sisi, Wakil Ketua Paguyuban Kapal Pursein Juwana, Purnomo mengatakan jika terdapat beberapa kapal yang masih bisa membeli solar di Pertamina. Maka dari itu beberapa kapal masih bisa berangkat.
”Ada yang berangkat melaut walaupun harga solar mahal. Selain itu, saat ini hasil tangkap tak sepadan. Dari situ ada yang memutuskan untuk tak berangkat melaut,” ucapnya. (Lingkar Network | Ika Tamara Dewi – Harianmuria.com)