KUDUS, Harianmuria.com – Akhir bulan September 2022 yang bertepatan dengan hari Jumat Wage, masyarakat Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus melangsungkan tradisi Guyang Cekathak. Tradisi yang sudah berlangsung lama dan turun temurun ini, merupakan bentuk pelestarian terhadap peninggalan Sunan Muria berupa pelana kuda.
Berbagai kegiatan dilangsungkan, mulai dari tahlil dan doa bersama dari pukul 07.00 WIB di Makam Sunan Muria, hingga pelaksanaan kirab. Tak kurang dari 300 warga baik pengurus yayasan, pedagang, tukang ojek, dan masyarakat setempat tampak guyub rukun membawa Guyang Cekathak beserta sedekah warga ke Sendang Rejoso untuk dibasuh.
Masih di lokasi yang sama, tahlil dan doa dibacakan kemudian diikuti prosesi pembasuhan pelana kuda Sunan Muria dengan air Sendang oleh para pengurus. Selepas prosesi berakhir, 350 porsi dawet Muria dibagikan kepada masyarakat setempat.
Juru kunci Sendang Rejoso sekaligus Bendahara YM2SM, Muhammad Bambang Budi Iriyanto mengatakan tradisi Guyang Cekathak sudah berlangsung lama dan turun temurun. Pihaknya berupaya melestarikan tradisi tersebut dengan mengajak semua elemen masyarakat terlibat.
“Biasanya bertepatan dengan musim kemarau panjang, jadi sekaligus dalam rangka bersyukur, bersedekah kepada warga dan memohon doa minta hujan,” katanya, Jumat (30/9).
Ia pun menyebut tradisi ini tidak mengandung niatan syirik karena memang dalam rangka melestarikan tradisi. Sebab dalam prosesi mencuci cekathak atau pelana kuda, pihaknya juga membawa shalawat Nabi. Lalu air hasil basuhan tersebut juga ada yang diambil masyarakat untuk mengalap berkah dari Sunan Muria.
Sementara itu, sedekah yang diberikan kepada warga untuk selametan cukup beragam, mulai dari sayur urab, opor ayam, gulai kambing, hingga dawet sebagai simbol harapan warga akan datangnya hujan. Sedangkan Sendang Rejoso sendiri dipilih menjadi lokasi pelaksanaan, mengingat dulunya menjadi tempat berwudhu dan bebersih diri Sunan Muria.
Sendang Rejoso sendiri dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai bekas tempat wudu Sunan Muria. Sehingga tradisi ini semula dilakukan untuk mengajak masyarakat sekitar Gunung Muria melestarikan sumber air yang berada di kawasan gunung Muria.
Berbeda dengan 2 tahun sebelumnya, pelaksanaan tradisi guyang cekathak sedikit berbeda. Dawet yang dalam tradisi lama di guyang-guyang atau dilemparkan ke udara, kini dialihkan dengan cara dibagikan kepada warga.
“Dulu diguyang ke udara dan mubazir karena terbuang sia-sia, makanannya juga terkena dawet sehingga tidak dimakan. Jadi setelah mendapat masukan warga, kini dibagikan kepada warga,” jelasnya.
Pihaknya berharap, tradisi Guyang Cekathak ini dapat diteruskan oleh generasi selanjutnya supaya tidak punah, sekaligus sebagai edukasi menjaga kelestarian alam gunung Muria. (Lingkar Network | Hasyim Asnawi – Harianmuria.com)