KUDUS, Harianmuria.com – Halaqah Fikih Peradaban yang mengkaji “Fikih Siyasah dan Masalah Kaum Minoritas” berlangsung di Aula Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an (PTYQ) Kudus.
Hadir dalam kesempatan tersebut, Ketua Komisi Pemilihan Umum(KPU) Republik Indonesia (RI) Hasyim Asy’ari sebagai narasumber, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manuisa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) Ulil Abshar Abdalla, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Najib Bukhori, dan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus Prof Abdurrahman Kasdi sebagai pemandu Halaqah.
Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari mengutarakan, relasi NU dengan Negara, yang perlu dicatat adalah perannya yang mengokohkan status (Indonesia) sebagai Negara Bangsa (Nation State).
“Indonesia (itu) bukan negara sekuler ekstrem, sebab spirit agama senantiasa melekat pada Negara Indonesia. Bahkan dalam teks-teks kebangsaan, pengadilan, pelantikan di Indonesia tidak pernah terlepas dengan narasi keagamaan, seperti ketuhanan; demi Tuhan, dalam keadilan Tuhan, dan lainnya,” tegasnya, Minggu (13/11).
Dia mengemukakan, jika mengacu pada sudut pandang “mayoritas dan minoritas” dalam sistem pemilihan di Indonesia, pada dasarnya masih belum jelas.
“Sistem pemilihan di Indonesia mengacu pada sistem yang proporsional. Dengan demikian, tidak jelas mana yang minoritas dan mana yang mayoritas,” paparnya.
Dan menurutnya, penting juga untuk dikemukakan terkait sistem pemilihan di Indonesia, antara lain soal hak pilih perempuan, penyandang disabilitas dan Orang dalam Gangguan Jiwa (ODGJ).
“Indonesia secara demokrasi lebih maju dibanding Amerika dari sisi memberikan hak pilih perempuan. Amerika memberikan hak pilih terhadap perempuan baru berlangsung tahun 1970-an, sedangkan Indonesia sudah lebih dulu,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, pada mulanya ODGJ dan disabilitas mental tidak memiliki hak pilih. Kemudian pada 2019, Undang-undang (UU) menghapus ketentuan tersebut.
“Kuantitas bukan acuan dalam menentukan minoritas-mayoritas. Secara ekonomi, misalnya, meskipun dipegang oleh segelintir orang yang secara kuantitas sedikit, namun secara pengaruh begitu besar,” ujarnya
KH Ulil Abshar Abdalla, menyampaikan, bahwa fikih peradaban yang digagas oleh ketua PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), tak lain agar para kiai terlibat mengenai problematika Internasional.
“Selain halaqah ini, PBNU juga menggagas R-20 (yang baru selesai digelar belum lama ini). Sebuah forum diskusi antaragama yang diadakan dengan misi agar agama dapat menjadi solusi atas problematika dunia,” terangnya
Dirinya menambahkan, bahwa problematika dunia sangat beragam, dan di antara berbagai problematika tersebut juga ada beberapa yang bersinggungan dengan agama.
“Salah satu konten yang menjadi sorotan adalah problematika yang bersinggungan dengan agama. Sehingga perlu ditemukan solusi agar agama menjadi jalan keluar, bukan sumber atas masalah itu sendiri,” tambahnya.
Pada Halaqah Fikih Peradaban ini, hadir pula sejumlah tokoh dan para kiai, yaitu KH Mc Ulin Nuha Arwani, KH M Ulil Albab Arwani, KH Em Nadjib Hasan, KH A Badawi Basyir, KH A Ainun Nai’im, KH Asyrofi Masyito, KH Nur Khamim, KH Ulinnuha, KH Ahmad Yasin, dan KH Aslim Akmal.
Selanjutnya, hadir pula H M Hilmy, Kiai Syafi’i. KH Ahmad Nashih, Kiai Moh Mujab, Kiai M Islahul Umam, Kiai Naf’an, H Mawahib, KH Syihabbudin Muin, Kiai Kholilurrohman, Dasa Susila, Kiai Syaifuddin, Nyai Hj Chumaidah, Dr Hj Uma Farida, dan Dr Malaiha Dewi. (Lingkar Network | Ihza Fajar – Harianmuria.com)