PATI, Harianmuria.com – Bule muslim yang tergabung dalam Komunitas Penggerak Literasi Litbar mempunyai cara tersendiri dalam menyambut bulan Ramadan1446 ini.
Mereka bekerja sama dengan sekolah dan pondok pesantren untuk memberikan pengalamannya dalam beragama di Eropa kepada pelajar di Kabupaten Pati.
Empat warga negara Prancis dalam komunitas tersebut hadir sebagai narasumber. Mereka adalah Quentin Choquer, Youness Boudjaadar, Théo Averly, dan Salah-Eddine Blisset Boudjadaar. Kecuali Theo yang non-muslim, tiga lainnya merupakan pemeluk agama Islam.
Youness dan Salah-Eddine berdarah Aljazair. Quentin berdarah Prancis-Italia, sementara Théo berdarah Prancis-Spanyol. Pada Ramadan kali ini, mereka menyambangi sejumlah sekolah dan pondok pesantren untuk berbagi kisah inspiratif.
“Kami mengajak anak-anak untuk mengenal bagaimana Islam di Eropa. Kegiatan ini berlangsung di SMAN 2 Pati, SMAN 3 Pati, Pesantren Ittihadul Muwahiddin Pati, dan SMPII Luqman Al Hakim Kudus,” kata Ketua Komunitas Litbar Pati Yoyok Dwi Prastyo, Sabtu (1/3/2025).
Yoyok mengungkapkan, ketika empat muslimin asal Prancis itu menceritakan pengalaman spiritualnya, murid-murid bisa merasakan dan menyadari bahwa ternyata menjadi seorang muslim di Indonesia begitu mudah dan indah.
Banyaknya ‘privilese’ dan toleransi memudahkan pemeluk Islam di Indonesia untuk mempraktikkan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. “Untuk itu, tak berlebihan jika kita harus meningkatkan rasa syukur kita atas segala nikmat ini,” ujarnya.
Empat muslimin Prancis itu membagikan pengalaman hidup, motivasi, bahkan hal-hal lucu selama mempraktikkan kehidupan beragama sehari-hari di Benua Biru.
Youness dan Salah-Eddine mengisahkan pengalaman tentang betapa dalam ber-Islam di Prancis, sangat banyak tantangan yang harus dihadapi.
Ada sentimen islamophobia, sekularisme, rasisme, hingga stigma negatif yang menjadikan kehidupan beragama mereka tak semudah di Indonesia. Kendati demikian, mereka mengaku masih beruntung memiliki teman, keluarga, dan orang-orang berpikiran terbuka yang selalu mendukung.
Quentin, seorang mualaf berdarah Prancis-Italia, berkisah tentang bagaimana pada usia 17 tahun, dirinya mengalami kecamuk batin yang membuatnya meragukan pondasi keimanan yang dianut keluarganya.
Oleh sebab itu, setelah mengalami perjalanan berliku dan bermacam tantangan, hidayah menghampirinya dan hingga ia memantapkan diri untuk bersyahadat.
Satu-satunya narasumber nonmuslim, Théo Averly, menjelaskan betapa berat menjadi Muslim di Prancis. Menurutnya, hukum Prancis tak melarang orang beribadah, tetapi masyarakatnya memiliki pemikiran berbeda.
“Pada akhirnya, orang-orang yang berpikiran terbuka dan logislah yang dapat merasakan betapa Islam sesungguhnya membawa rahmat,” ungkap Théo.
(SETYO NUGROHO – Harianmuria.com)