Harianmuria.com – Perkembangan Islam saat ini, merupakan salah satu bentuk perjuangan dakwah yang dilakukan oleh para tokoh ulama. Dalam menyebarkan ajaran Islam ke seluruh Nusantara, para tokoh ulama memiliki catatan sejarah perjalanan yang berbeda-beda.
Di Kabupaten Rembang sendiri terdapat banyak tokoh ulama yang berperan penting dalam penyebaran ajaran Islam. Bahkan makam para tokoh tersebut hingga kini dijadikan tempat tujuan utama para peziarah baik masyarakat lokal Rembang maupun pendatang dari luar. Siapa sajakah mereka? Berikut ulasan para tokoh pendakwah di wilayah Rembang.
Mbah Sambu
Mbah Sambu memiliki nama asli Sayyid Abdurrahman. Mbah Sambu merupakan putra Pangeran Benawa dari Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya, Raja dari Kerajaan Pajang yang merupakan cikal bakal Kerajaan Mataram Islam.
Mbah Sambu merupakan guru agama Islam (walinegara). Ketika di Lasem, ia bertemu dengan Adipati Tedjokusuma (Mbah Srimpet). Karena jasanya dalam menumpas aksi perang di pusat kota yang menimbulkan banyak kekacauan, ia pun dijadikan menantu dan diangkat sebagai walinegara Kadipaten Lasem.
Kedatangan Mbah Sambu di Lasem juga disinyalir tidak hanya sekedar menumpas aksi para perompak, namun juga menkosolidasi masyarakat untuk mengusir penjajah Belanda yang berada di rumah Gedong di Desa Turi. Selain itu, Mbah Sambu juga menyiarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Saat itu, wilayah Lasem meliputi Gresik, Tuban, Rembang, Pati, Jepara, dan Sedayu, yang mana, masyarakat sebelumnya meyakini ilmu kejawen Kasunyutan. Sehingga Mbah Sambu dalam melakukan dakwahnya menggunakan metode multikultural.
Namun demikian, tidak banyak sejarah yang memaparkan proses dakwah Mbah Sambu. Akan tetapi masyarakat meyakini bahwa ia merupakan seorang ulama yang mendalami ilmu makrifat. Sehingga dalam berdakwah ia menggunakan pendekatan makrifat pula. Di Lasem, ia mendirikan sebuah masjid yang digunakan untuk berdakwah. Masjid tersebut terletak di Jalan Provinsi Lasem-Sale, Kauman, Mahbong Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang.
Mbah Sambu wafat pada tahun 1671 M dan dimakamkan di kompleks Makam Masjid Jami di Kabupaten Lasem, Jawa tengah.
Mbah Jumali
Mbah Jumali merupakan salah satu sosok ulama atau tokoh yang mempunyai peran dalam penyebaran agama Islam di Rembang. Ia salah satu keturunan dari Mbah Sambu yang makamnya berada di lingkungan Masjid Agung Lasem. Pada tahun 1734 M, Mbah Jumali mencari sebuah hutan yang belum berpenghuni dan hendak ia jadikan tempat untuk berdakwah. Disana ia membangun sebuah gubuk atau padepokan di pinggir sungai.
Saat terjadi hujan deras, hal aneh sering terjadi di padepokan. Setiap kali banjir datang, airnya tidak pernah mengenai padepokan. Air banjir yang datang hanya terbendung secara ghoib di sekitar padepokan. Karena kemampuannya itu, namanya semakin tenar dan semakin melambung. Bahkan penguasa Rembang pada waktu itu merasa segan dan sangat menghormatinya. Tak lama kemudian, padepokan itu semakin berkembang pesat. Lambat laun banyak penduduk yang mulai berdatangan untuk belajar agama Islam dan menjadikan wilayah itu untuk tempat tinggal.
Meski tempat tersebut sudah menjadi perkampungan yang padat penduduk, namun suasana angker atau mistis dari dua batu di pinggir sungai masih terasa di sana. Untuk menghilangkan prasangka buruk yang terjadi di tengah masyarakat, Mbah Jumali memiliki cara unik dengan membuang hajat besar atau kecil di atas kedua batu angker itu setiap hari. Hal yang dilakukan Mbah Jumali itu, ternyata berhasil membuang fikiran negatif warga setempat tentang keangkeran kedua batu tersebut.
Semakin lama, padepokan Mbah Jumali semakin berkembang dengan pesat. Untuk mengapresiasi perjuangan dakwah yang dilakukannya, warga setempat menamai perkampungan tersebut dengan Desa Tuyuhan. Kata tersebut berasal dari kata Watu Kanggo Wuyuhan (batu tempat untuk membuang hajat besar atau kecil).
Hingga kini, keberadaan kedua batu yang berada di pinggir sungai masih ada hingga sekarang. Batu tersebut dapat dijadikan bukti atas kebenaran cerita dakwah dari Mbah Jumali. Kini padepokan tersebut telah berubah menjadi pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang ulama bernama Kyai Ahmadi yang juga memiliki nasab dengan Mbah Jumali.
Belum diketahui secara pasti kapan Mbah Jumali wafat. Hanya saja, sosok Mbah Jumali diketahui dimakamkan di Desa Tuyuhan Kidul, Tuyuhan, Pancur, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Mbah Ma’shum
KH Ma’sum Ahmad memiliki nama kecil Muhammadun, lahir pada 1868 Masehi. Ia merupakan putra dari H. Ahmad dan Qasimah, namun ia terkenal dengan sebutan Mbah Ma’sum. Selain itu, memiliki silsilah dan hubungan darah dengan Sultan Minangkabau yang bersambung hingga ke Rasulullah Saw. Karena suka mengembara, Mbah Ma’sum menimba ilmu hingga mendatangi belasan pondok pesantren dari Jepara hingga ke Makkah.
Mbah Ma’sum merupakan pendiri Pondok Pesantren (ponpes) Al Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah dan menjadi salah satu kiai yang disegani dan dihormati banyak kalangan. Menurut beberapa sumber yang ada, salah satu karomah yang dimiliki oleh Mbah Ma’sum adalah ia dapat mengetahui waktu kapan dirinya akan meninggal. Peristiwa tersebut terjadi ketika ziarah wafatnya Mbah Baidhowi, ia duduk di depan peti jenazahnya dan seolah tengah berbicara dengan mengatakan dirinya akan menyusul dua tahun lagi.
Perkataan yang diucapkannya pun bernar terjadi. Mbah Ma’sum meminggal tepat dua tahun setelahnya, yakni pada tanggal 28 April 1972 (14 Robiul Awal 1392 H) pukul 14.00 WIB, selesai shalat Jum’at kemudian dikebumikan di komplek pemakaman Masjid Jami’ Lasem Rembang.
Nyai Ageng Maloka
Nyai Ageng Maloka merupakan putri dari Sunan Ampel dan kakak dari Sunan Bonang. Ia dipercayai oleh masyarakat Rembang sebagai mubaligh pertama di tanah Jawa. Ia menetap di Lasem setelah sah menjadi istri dari Pangeran Wiranegara yang pada saat itu juga tengah berguru kepada Sunan Ngampel.
Penyebaran Islam di masa Nyai Ageng Maloka di buktikan dengan keberadaan masjid tua di daerah Gedongmulyo, yaitu adanya Masjid Tiban. Keberadaan masjid ini menunjukkan bahwa pada masa itu perkembangan Islam di Lasem telah meluas dari yang awalnya di Bonang Binangun sampai kawasan Masjid Tiban.
Sementara itu, Nyai Ageng Maloka sendiri sangat gigih menyebarkan agama Islam, terutama kepada kalangan perempuan. Sejumlah putri dari para wali, seperti putri Sunan Kudus dan Sunan Muria ikut berguru menimba ilmu kepada Nyai Ageng Maloka hingga akhir hayatnya. Sebagai seorang adipati, dia mampu menciptakan ruang dakwah bagi Sunan Bonang, sehingga dapat memajukan Islam. Hal ini menunjukkan kalau Nyai Ageng Maloka punya peranan penting dalam kemajuan karir dakwah Sunan Bonang dan perkembangan Islam di Lasem.
Nyai Ageng Maloka wafat usia 39 tahun dan dimakamkan di pinggir Pantai Caruban, Desa Gedongmulyo, Lasem, Rembang, Di pelataran makamnya juga terdapat beberapa makam, salah satunya makam putra Raden Patah, yaitu Pangeran Surowiyoto.
Itulah beberapa nama tokoh ulama yang diyakini masyarakat Rembang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama Islam. Dari keempat tokoh di atas, masih banyak tokoh lain yang turut menyukseskan dakwah Islam di Rembang sampai sekarang. (Kontributor Uin – Harianmuria.com)