Harianmuria.com – Sebagai seorang makhluk yang baru saja lahir ke dunia, anak membutuhkan pengasuhan yang optimal dari lingkungan keluarga. Hanya saja, kewajiban mengasuh anak ini biasanya lebih banyak dibebankan kepada sosok ibu dibandingkan ayah.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami fenomena fatherless atau kekurangan kehadiran sosok ayah, baik secara fisik maupun psikis dalam keluarga.
Fenomena ini terjadi karena di banyak keluarga, sosok ayah merupakan tulang punggung keluarga yang harus bekerja mencari nafkah untuk keluarga, sedangkan mengasuh anak di rumah merupakan tugas ibu.
Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rini Handayani menyebut KemenPPPA telah mendorong keterlibatan ayah dalam mengasuh dan mendidik anak, yakni melalui gerakan HeForShe.
HeForShe merupakan bentuk komitmen pemerintah yang memosisikan laki-laki agar lebih peduli pada isu kesetaraan gender.
Selain itu, KemenPPPA juga bergerak di akar rumput, yakni melalui program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPPA).
Kementerian itu juga memfasilitasi desa-desa DRPPA itu untuk mengadakan lomba-lomba bagaimana inovasi-inovasi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.
Upaya ini sesuai dengan lima arahan Presiden Joko Widodo yang diamanatkan kepada KemenPPPA, yang salah satunya meningkatkan peran ibu dan keluarga dalam pengasuhan anak.
Pengaruhi tumbuh kembang
Keterlibatan ayah sangat penting dalam mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menilai ketidakhadiran figur ayah dalam membesarkan anak bisa menyebabkan ketidakseimbangan yang berdampak dalam pemenuhan fisik, jiwa, dan rohani anak.
Kehidupan yang tidak seimbang menyebabkan pertumbuhan mengalami perlambatan, yang membawa konsekuensi tertentu dan mendalam bagi tumbuh kembang fisik dan jiwa anak.
Kehilangan figur ayah tersebut bisa menyebabkan depresi pada anak.
Anak-anak yang kehilangan salah satu orang tua, biasanya akan memiliki tantangan dalam tumbuh kembang yang berat, seperti muncul ketidakpercayaan diri yang menyebabkan merasa memiliki harga diri yang rendah dalam masyarakat.
Hal ini akan lebih berat ketika dihadapi anak perempuan yang kehilangan ayah.
Kondisi ini berujung ketidakstabilan memahami emosi dengan kecerdasan emosi yang rendah. Yang ujungnya menjadi ketidakstabilan emosi.
Ketidakmunculan seorang ayah menyebabkan anak sulit mempertahankan komunikasi yang baik, dalam berelasi kurang bisa mempertahankan, sehingga seringkali gagal membina hubungan pertemanan yang baik.
Anak yang berada dalam situasi ini, perlu didampingi agar memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi trauma merasa ditolak dan perasaan tidak punya ayah.
Keluarga rapuh
Pengasuhan terbaik untuk anak adalah dalam keluarga. Namun kenyataannya, tidak semua anak dapat diasuh langsung oleh orang tua, baik ayah dan atau ibu dalam keluarga.
Salah satu alasan pengasuhan anak terlepas dari keluarga adalah karena faktor kerentanan dan kerapuhan keluarga, baik rapuh secara sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan agama.
KPAI mencatat pada tahun 2021 ada 2.279 pengaduan dan tahun 2022 ada 1.960 pengaduan situasi anak-anak yang rentan di keluarga dalam kluster pengasuhan keluarga dan pengasuhan alternatif.
Jumlah itu bisa jadi lebih besar, dengan melihat catatan media yang memublikasikan tingginya angka perceraian pasangan muda, tingginya angka perceraian, dan tingginya angka pernikahan anak.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pernikahan dini di Indonesia pada 2022 mencapai 1,71 juta kasus.
Sementara terdapat 516.344 kasus perceraian di tahun yang sama. Artinya, ada lebih kurang 500 ribu anak yang mendadak kehilangan orang tua.
Padahal, rasa kehilangan atau ditinggalkan orang tua, juga menimbulkan depresi berkepanjangan bagi anak.
Karena setiap datang masalah apapun, akan muncul depresi dan rasa bersalah akibat merasa ditinggalkan.
Situasi depresi yang dialami oleh seorang anak sangat memerlukan pendampingan yang bermakna agar anak bisa mengurai apa yang mereka rasakan.
Ujung dari permasalahan ini, anak akan rentan memiliki pergaulan yang berisiko, terjebak pergaulan bebas, dekat dengan industri candu dalam upaya si anak melupakan trauma-trauma mereka.
Hanya saja, alih-alih melupakan trauma, justru ketika kembali ke dalam kehidupannya yang asli, anak-anak itu kembali ke masalah yang sama. Si anak hanya akan berputar-putar di masalah yang sama, trauma.
Anak-anak yang berada di dalam pergaulan ini, cenderung sulit diterima di dunia kerja dan terpinggirkan dalam pertemanan.
Mereka hanya diterima di tempat anak-anak yang mengalami risiko yang sama, sehingga menjadi pertemuan yang lebih buruk dari pengalaman mengatasi trauma.
Maka, dalam kondisi psikis yang seperti itu, masuk ke industri candu dan terjebak pada perilaku rentan, akan semakin berperan pada diri si anak.
Anak pun akan mengalami post traumatic, seperti melakukan self harm, percobaan bunuh diri, bahkan disosiatif dan sering berimajinasi tentang melepaskan penderitaan dengan pembunuhan.
Bila anak sudah dalam situasi ini, sering terjebak dalam keputusan yang buruk karena ingin mengakhiri semua penderitaannya. Tentu sudah sangat berat penyelesaiannya, membutuhkan karantina dan treatment khusus lintas profesi, yang biayanya sangat mahal.
Kini, banyak pasangan yang baru menikah mendambakan memiliki anak, namun perlu diingat bahwa setelah anak itu hadir, mengasuhnya adalah kewajiban kedua orang tua, bukan hanya menjadi kewajiban seorang ibu. Sosok ayah juga berperan penting dan hadir dalam pengasuhan anak.
Mari seluruh keluarga Indonesia bersama-sama menciptakan lingkungan pengasuhan yang baik di dalam keluarga demi masa depan anak-anak Indonesia, demi meraih Indonesia Emas 2045. (Lingkar Network | Anta – Harianmuria.com)